KOMPAS.com - Di antara para sahabat Nabi Muhammad SAW, nama Abdurrahman bin Auf kerap disebut sebagai simbol paradoks yang indah.
Seorang saudagar kaya raya yang justru dikenal karena kezuhudan dan kedermawanannya. Ia membuktikan bahwa harta, dalam pandangan Islam, bukanlah tujuan, melainkan amanah, sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan hingga detik terakhir kehidupan.
Abdurrahman bin Auf termasuk golongan awal yang menerima Islam. Ia masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar ash-Shiddiq, pada fase ketika keimanan berarti risiko, bukan kehormatan.
Tekanan Quraisy tak membuatnya goyah. Ia hijrah ke Habasyah, lalu ke Madinah, meninggalkan seluruh hartanya di Makkah tanpa penyesalan.
Baca juga: Kisah Al Thufail, Penyair Masuk Islam karena Dengar Lantunan Al Quran
Setibanya di Madinah, Abdurrahman dipersaudarakan oleh Rasulullah dengan Sa‘d bin Rabi‘ al-Anshari.
Sa‘d menawarkan separuh hartanya, bahkan salah satu istrinya. Tawaran itu ditolak dengan halus. Abdurrahman hanya meminta ditunjukkan letak pasar.
Dari situlah kisah ekonomi yang berakar pada kejujuran dimulai. Dengan ketekunan, ia kembali bangkit sebagai pedagang.
Namun kekayaan itu tidak menjauhkannya dari ibadah. Dalam satu peristiwa, Rasulullah SAW pernah terlambat datang dan Abdurrahman bin Auf maju menjadi imam shalat.
Rasulullah tidak menegur, bahkan menyempurnakan shalat bersama jamaah. Isyarat itu menandai kepercayaan dan kemuliaan spiritual yang dimilikinya.
Dikutip dari buku 65 Kisah Teladan Sahabat Nabi karya Dr. Abdurrahman Ra'fat al-Basya, ketika Abdurrahman menikah, Rasulullah hanya bertanya sederhana, “Berapa mahar yang engkau berikan?” Ia menjawab, “Emas seberat biji kurma.”
Rasulullah mendoakan, “Baarakallahu laka.” Doa singkat itu menjadi penanda keberkahan yang menyertai setiap langkah ekonominya.
Keberkahan itu tidak berhenti pada akumulasi. Dalam banyak riwayat, Abdurrahman menjual tanah miliknya lalu membagikan hasilnya kepada Bani Zuhrah, kaum kerabat Rasulullah sebagai bentuk cinta dan tanggung jawab sosial. Harta baginya bukan simbol status, melainkan sarana pengabdian.
Baca juga: Kisah Utsman bin Affan: Khalifah Dermawan yang Gugur Syahid
Puncak kekayaannya tampak ketika suatu hari Madinah digemparkan oleh suara gemuruh. Ternyata, kafilah Abdurrahman bin Auf baru tiba dengan 700 unta yang bermuatan gandum, tepung, dan bahan pangan.
Aisyah RA mengingatkan sebuah hadis Rasulullah bahwa Abdurrahman akan masuk surga dengan merangkak karena kekayaannya.
Mendengar itu, Abdurrahman gemetar. Ia segera berkata bahwa seluruh kafilah itu ia sedekahkan di jalan Allah.
Sejarah mencatat, Madinah tidak hanya menyaksikan lalu-lalang harta, tetapi juga keikhlasan yang menjinakkannya.
Menjelang akhir hayat, ketakutan Abdurrahman bukan pada kemiskinan, melainkan pada hisab yang panjang.
Ia menangis ketika dihidangkan makanan enak, mengingat sahabat-sahabatnya yang wafat dalam kesederhanaan.
Ia membebaskan banyak budak sebagai penutup hidupnya. Ia berwasiat agar 400 dinar emas diberikan kepada setiap anggota Ahlul Badr yang masih hidup, sebuah penghormatan bagi para pejuang awal Islam.
Kepada Ummul Mukminin, istri-istri Rasulullah, ia menitipkan harta yang besar sebagai bentuk kesetiaan dan bakti.
Namun yang paling mencengangkan adalah warisan yang ditinggalkannya. Untuk ahli warisnya, ia masih meninggalkan 100 unta, 100 kuda, dan 3.000 domba.
Angka itu menunjukkan betapa besar kekayaannya dan betapa besar pula yang telah ia lepaskan.
Baca juga: Kisah Zaid bin Tsabit: Jalan Tekad Sang Penjaga Wahyu
Abdurrahman bin Auf wafat pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Ia tidak meninggalkan istana, tidak pula monumen.
Namun yang ia tinggalkan adalah teladan bahwa menjadi kaya tidak bertentangan dengan iman, selama harta tunduk kepada nilai.
Ia bukan zahid yang membenci dunia, melainkan mukmin yang menundukkan dunia. Dalam dirinya, Islam memperlihatkan wajah yang utuh, ibadah yang khusyuk, kerja yang tekun, dan derma yang melimpah.
Di tengah dunia modern yang kerap memuja akumulasi tanpa batas, kisah Abdurrahman bin Auf hadir sebagai pembelajaran.
Bahwa kekayaan sejati bukan pada seberapa banyak yang disimpan, melainkan seberapa lapang tangan melepaskannya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang