KOMPAS.com - Abu Lahab bernama asli ‘Abdul ‘Uzza bin ‘Abdul Muththalib adalah paman Nabi Muhammad SAW.
Dalam catatan sejarah Islam, ia pernah menunjukkan kegembiraan ketika mendengar kabar kelahiran keponakannya.
Riwayat yang dinukil oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah menyebutkan bahwa Abu Lahab memerdekakan budaknya, Tsuwaibah, sebagai ungkapan sukacita atas kelahiran Nabi.
Sebagian ulama, merujuk pada hadis yang diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari secara mu‘allaq, menyebutkan bahwa kegembiraan tersebut menyebabkan siksa Abu Lahab diringankan setiap hari Senin.
Namun, keringanan itu bersifat sementara dan tidak mengubah nasib akhirnya. Sebab kegembiraan tanpa iman tidak pernah cukup untuk menyelamatkan seseorang dari kesesatan yang dipilihnya sendiri.
Baca juga: Abu Jahal: Musuh Nabi yang Sadar Kebenaran, tapi Menolaknya
Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyampaikan risalah tauhid secara terbuka, sikap Abu Lahab berubah tajam.
Ia melihat dakwah Islam sebagai ancaman terhadap tatanan sosial dan ekonomi Quraisy yang bertumpu pada penyembahan berhala. Hubungan darah pun tidak lagi berarti.
Puncak penentangan Abu Lahab terjadi saat Rasulullah SAW mengumpulkan kaum Quraisy di Bukit Shafa.
Seruan Nabi untuk kembali kepada Allah dijawab dengan cemoohan. Abu Lahab berteriak, “Tabban laka!” ungkapan kutukan yang kemudian dibalas langsung oleh wahyu Surah al-Lahab. Peristiwa ini dicatat dalam banyak kitab sirah, antara lain Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam.
Permusuhan Abu Lahab tidak berhenti pada penolakan verbal. Ia kerap mengikuti Rasulullah saat berdakwah untuk memotong ucapannya dengan tuduhan dusta.
Dalam sejumlah riwayat yang dikumpulkan oleh Ibnu Ishaq dan dirangkum oleh Ibnu Hisyam, disebutkan bahwa Abu Lahab pernah meludahi Rasulullah SAW di hadapan orang banyak sebuah penghinaan berat dalam budaya Arab.
Kekerasan simbolik itu berlanjut dalam bentuk teror sehari-hari. Istri Abu Lahab, Ummu Jamil binti Harb, berulang kali meletakkan duri, kotoran, dan sampah di jalan yang biasa dilalui Nabi atau di sekitar rumah beliau.
Al-Qur’an kemudian menyebut Ummu Jamil sebagai ḥammālatal-ḥaṭab, metafora bagi penyulut kebencian dan permusuhan atau pembawa kayu bakar.
Baca juga: Sirah Nabawiyah: Kisah Hidup Nabi Muhammad SAW dari Lahir hingga Wafat
Salah satu peristiwa paling menyentuh dalam fase Mekah adalah gangguan yang terjadi saat Rasulullah SAW sedang menunaikan shalat.
Dikutip dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam dan Zad al-Ma‘ad karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyebutkan bahwa kotoran pernah dilemparkan atau diletakkan di tempat shalat Rasulullah ketika beliau sedang sujud.
Rasulullah tidak membatalkan shalatnya dan tidak membalas perlakuan itu. Dalam situasi itulah Fatimah az-Zahra, putri beliau yang masih belia datang menghampiri.
Ia membersihkan kotoran tersebut dan berdiri di sisi ayahnya. Peristiwa ini kerap dibaca oleh para sejarawan sebagai potret sunyi keteguhan iman seorang nabi yang bertahan dalam kehinaan, ditemani kasih seorang anak.
Permusuhan Abu Lahab akhirnya diabadikan dalam wahyu. Surah al-Lahab turun sebagai penegasan bahwa kekuasaan, harta, dan status sosial tidak memiliki nilai di hadapan kebenaran.
Abu Lahab dan istrinya digambarkan sebagai simbol kesombongan yang menolak cahaya iman secara sadar dan aktif.
Menurut penjelasan para mufasir klasik seperti al-Tabari dan al-Qurthubi, surah ini bukan sekadar kecaman personal, melainkan pelajaran moral tentang akhir dari kebencian yang dipelihara dan kesombongan yang dibiarkan tumbuh.
Baca juga: Kisah Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah
Kisah Abu Lahab memperlihatkan bahwa kedekatan keluarga dengan seorang nabi tidak menjamin keselamatan.
Islam menilai manusia berdasarkan iman dan amal, bukan relasi biologis atau emosi sesaat. Kegembiraan Abu Lahab di awal kehidupan Nabi tidak berarti apa-apa ketika ia memilih menjadi musuh dakwah hingga akhir hayat.
Sebaliknya, keteguhan Rasulullah SAW dalam menghadapi penghinaan menunjukkan bahwa dakwah tidak selalu dibalas dengan penerimaan.
Ia sering kali tumbuh dalam kesabaran, luka, dan ketabahan. Dari kisah inilah Al-Qur’an menegaskan bahwa kebenaran akan tetap berdiri, meski harus melewati jalan yang sunyi dan menyakitkan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang