KOMPAS.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan akan menindaklanjuti permintaan fatwa dari Center of Economic and Law Studies (Celios) mengenai keabsahan penghasilan menteri dan wakil menteri yang merangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, mengonfirmasi hal tersebut dalam keterangan pers, pada Rabu (10/9/2025), seperti dilansir dari laman MUI.
“Kami berterima kasih kepada Celios karena telah meminta fatwa kepada MUI. Setiap permintaan fatwa dari masyarakat, atau yang kami sebut mustafti, pasti akan kami tindak lanjuti melalui kajian yang mendalam,” katanya.
Baca juga: MUI Desak OKI Gandeng Negara Barat untuk Akhiri Genosida Israel di Gaza
Cholil menjelaskan, permohonan fatwa dari Celios akan diteruskan ke Komisi Fatwa MUI.
Lembaga tersebut memiliki otoritas untuk membahas secara komprehensif persoalan hukum Islam terkait rangkap jabatan pejabat negara, termasuk penerimaan gaji atau honorarium dari dua posisi sekaligus.
Menurutnya, fatwa yang nantinya dikeluarkan tidak hanya menjadi pedoman bagi pejabat negara, melainkan juga menjadi rambu moral bagi umat Islam agar senantiasa menjaga prinsip keadilan, transparansi, dan amanah dalam mengelola keuangan.
Baca juga: MUI Kecam Serangan Israel ke Qatar, Sebut Langgar Hukum Internasional
Sebelumnya, penegasan soal larangan wakil menteri merangkap jabatan sebagai komisaris kembali bergulir setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan melalui putusan 128/PUU-XXIII/2025 pada Kamis (28/8/2025).
Setelah putusan MK tersebut, muncul desakan secara etik agar pemerintah dan para wakil menteri yang rangkap jabatan bisa patuh terhadap putusan MK.
Salah satu desakan itu datang dari Pusat Studi Ekonomi dan Hukum Celios yang meminta agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa terkait hukum menerima gaji di saat aturannya sudah melarang.
"Putusan Mahkamah Konstitusi jelas melarang rangkap jabatan Menteri dan Wakil Menteri sebagai komisaris BUMN. Namun, hingga kini larangan itu belum dijalankan. Kami meminta fatwa MUI agar umat Islam, khususnya pejabat negara, dapat menempatkan amanah publik di atas kepentingan pribadi," kata Direktur Kebijakan Publik Celios, Wahyu Askar, kepada Kompas.com, Selasa (9/9/2025).
Baca juga: MUI Tegaskan 7 Komitmen Persatuan dalam Silaturahmi Lintas Agama di Istana Negara
Askar mengatakan, ketika pejabat negara masih menerima penghasilan dari jabatan yang sudah jelas dilarang, maka ada persoalan etis yang harus dijawab.
Oleh karena itu, Celios meminta fatwa MUI agar ada panduan syariah yang menegaskan bagaimana seorang pejabat seharusnya bersikap terkait putusan MK tersebut.
"Isu rangkap jabatan ini bukan sekadar soal administrasi, tetapi juga menyangkut tanggung jawab moral pejabat negara. MK telah menjalankan tugasnya menjalankan konstitusi. Tokoh agama juga bisa terlibat untuk menjaga etika pejabat negara," ucapnya lagi.
Dalam surat permohonan nomor 72/CELIOS/IX/2025, Celios secara spesifik menyebut putusan MK 128/PUU-XXIII/2025 sebagai dasar permohonan pemberian fatwa MUI.
Surat yang ditujukan kepada Komisi Fatwa MUI itu menyebut meski MK telah memutuskan melarang, namun larangan ini belum dijalankan oleh pemerintah dan para wakil menteri yang menjabat komisaris BUMN.
"Sehubungan dengan itu, kami memohon penjelasan dan fatwa dari MUI mengenai hal berikut:" tulis Celios.
Ada tiga pertanyaan yang diminta difatwakan MUI oleh Celios. Pertama, hukum penghasilan atau honorarium yang diterima oleh menteri dan wakil menteri dari jabatan rangkap sebagai komisaris BUMN, di tengah larangan yang telah diputuskan.
Kedua, apakah penghasilan tersebut dikategorikan halal, syubhat, atau haram menurut syariat Islam.
Terakhir, bagaimana umat Islam, khususnya pejabat negara, menyikapi putusan MK agar sesuai dengan prinsip adil, amanah, dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Setelah MK, Giliran MUI Diminta Buat Fatwa soal Wamen Rangkap Jabatan"
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini