KOMPAS.com-Perceraian seringkali menimbulkan persoalan yang rumit, terutama ketika menyangkut hak asuh anak.
Hak asuh atau hadhanah menjadi hal penting karena menyangkut masa depan, pendidikan, dan kesejahteraan anak setelah kedua orang tuanya berpisah.
Dalam sistem hukum Indonesia, persoalan hak asuh anak diatur oleh Undang-undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta dilandaskan pula pada ajaran Islam melalui Alquran dan hadis.
Baca juga: Hak Istri Setelah Perceraian: Nafkah Iddah, Mut’ah, Hak Asuh Anak, dan Harta Gono-Gini
Pasal 45 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan:
Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Kewajiban itu berlaku hingga anak menikah atau mampu berdiri sendiri, dan tetap berlaku meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan.
Artinya, kewajiban orangtua terhadap anak tidak berhenti meski terjadi perceraian. Kasih sayang dan tanggung jawab harus tetap dijaga demi kepentingan terbaik anak.
Baca juga: Istri Gugat Cerai Suami, Ini Alasan yang Dibenarkan Menurut Islam
Pasal 41 Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian:
Ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya berdasarkan kepentingan anak.
Jika terjadi perselisihan, pengadilan yang akan memutuskan penguasaan anak.
Ayah bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan anak. Jika tidak mampu, pengadilan dapat menentukan agar ibu ikut menanggungnya.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 102 K/Sip/1973 juga menegaskan bahwa hak asuh anak di bawah umur (di bawah 12 tahun) umumnya diberikan kepada ibu kandung, karena pada usia tersebut anak masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang seorang ibu.
Namun, dalam kondisi tertentu, hak asuh dapat diberikan kepada ayah apabila ibu dianggap tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak.
Baca juga: Syarat Istri Boleh Gugat Cerai Suami dan Prosedurnya di Pengadilan Agama
Pasal 105 KHI mengatur:
Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (belum berusia 12 tahun) adalah hak ibunya.
Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih ayah atau ibunya.
Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
KHI juga menjelaskan, jika pemegang hadhanah (hak asuh) tidak dapat menjamin keselamatan anak, maka pengadilan agama berhak memindahkan hak asuh kepada pihak keluarga lain yang lebih layak.
Anak di bawah usia 5 tahun hampir selalu diberikan kepada ibu, kecuali ibu tidak mampu secara moral atau fisik.
Jika ibu berperilaku buruk, dipenjara, atau tidak dapat menjamin keselamatan anak, maka pengadilan dapat memindahkan hak asuh kepada ayah.
Jika anak perempuan masih di bawah 12 tahun, hak asuh biasanya tetap pada ibu.
Namun jika sudah lebih dari 12 tahun, anak diperbolehkan memilih ingin tinggal bersama ayah atau ibunya.
Ketika istri menggugat cerai, hak asuh anak di bawah 12 tahun tetap menjadi hak ibu, sedangkan ayah tetap bertanggung jawab atas biayanya.
Namun, jika alasan perceraian karena kesibukan ibu hingga dikhawatirkan menelantarkan anak, hak asuh dapat dipindahkan kepada ayah.
Apabila perceraian terjadi karena istri terbukti berselingkuh, pengadilan dapat mencabut hak asuhnya.
Pasal 34 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa suami dan istri wajib saling setia, sehingga perselingkuhan dianggap sebagai bentuk kelalaian dalam tanggung jawab keluarga.
Baca juga: Istri Boleh Gugat Cerai Suami yang Kecanduan Judi Online, Ini Penjelasan Hukum Islam dan KHI
Pasal 156 huruf (c) KHI menjelaskan bahwa hak asuh anak dapat dialihkan apabila:
“Pemegang hadhanah tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun nafkah telah dicukupi.”
Dalam hal ini, ayah atau kerabat dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama dengan bukti kuat bahwa hak-hak anak tidak terpenuhi.
Dalam Islam, hak asuh anak dikenal dengan istilah hadhanah, yang berarti pemeliharaan dan pengasuhan anak agar tumbuh sehat secara fisik, mental, dan spiritual.
Alquran Surah At-Tahrim ayat 6 menegaskan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ ٦
yâ ayyuhalladzîna âmanû qû anfusakum wa ahlîkum nâraw wa qûduhan-nâsu wal-ḫijâratu ‘alaihâ malâ'ikatun ghilâdhun syidâdul lâ ya‘shûnallâha mâ amarahum wa yaf‘alûna mâ yu'marûn
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Ayat ini menjadi dasar bahwa orang tua memiliki tanggung jawab besar dalam mendidik dan menjaga anak agar selamat dunia dan akhirat.
Rasulullah SAW juga bersabda dalam hadis riwayat Abu Dawud:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
Hadis ini menegaskan bahwa baik ayah maupun ibu memiliki tanggung jawab moral dan spiritual terhadap anak, bahkan setelah bercerai.
Dalam pandangan Islam, hak asuh bukan semata soal siapa yang “menang” di pengadilan, tetapi tentang siapa yang paling mampu menjaga, mendidik, dan melindungi anak sesuai nilai-nilai Islam.
Dalam Islam, mendidik anak adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan kasih sayang, kesabaran, dan tanggung jawab.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya yang lebih utama daripada pendidikan yang baik.” (HR. Tirmidzi)
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang