KOMPAS.com - Tanggal 29 November setiap tahun diperingati sebagai Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina, sebuah momentum global yang telah ditetapkan sejak tahun 1978 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Penetapan hari ini tidak terlepas dari pentingnya tanggal tersebut bagi sejarah perjuangan rakyat Palestina.
Pemilihan tanggal 29 November merujuk pada keputusan bersejarah PBB, yaitu Resolusi 181 (II) yang diadopsi pada 29 November 1947. Resolusi ini—yang kemudian dikenal sebagai Rencana Pembagian Palestina —mengusulkan pendirian dua negara, yakni Negara Arab Palestina dan Negara Yahudi.
Baca juga: Konflik Israel dan Palestina: Sejarah dan Pandangan Al Quran
Rencana tersebut juga mengatur status khusus untuk Yerusalem sebagai wilayah internasional yang dikelola oleh PBB.
Namun, implementasi resolusi itu tidak pernah terwujud bagi rakyat Palestina. Konflik yang menyusul setelahnya justru berujung pada Nakba (malapetaka) tahun 1948, ketika lebih dari 700.000 rakyat Palestina diusir atau terpaksa meninggalkan tanah mereka. Hingga hari ini, Nakba masih menjadi luka sejarah yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina menjadi pengingat bahwa permasalahan Palestina belum terselesaikan. Meskipun sudah berlalu puluhan tahun sejak Resolusi 181 ditetapkan, rakyat Palestina masih belum mendapatkan hak-hak dasar yang diakui oleh Majelis Umum PBB, yaitu:
1. Hak untuk menentukan nasib sendiri tanpa campur tangan pihak luar.
2. Hak atas kemerdekaan dan kedaulatan nasional sebagai sebuah negara yang merdeka.
3. Hak untuk kembali ke rumah dan tanah mereka yang sejak konflik pertama telah mereka tinggalkan atau dari mana mereka diusir.
Momentum ini digunakan oleh negara-negara anggota PBB, badan-badan internasional, dan masyarakat sipil untuk menegaskan kembali komitmen terhadap penyelesaian damai yang adil bagi rakyat Palestina.
Memasuki era modern, isu Palestina bukan semakin mereda, tetapi justru menjadi salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dewasa ini.
Konflik yang terus berlangsung—terutama sejak eskalasi besar pada tahun 2023–2025—menyebabkan:
Lembaga internasional seperti PBB, UNESCO, dan WHO berulang kali memperingatkan bahwa kondisi Gaza saat ini berada pada risiko kelaparan massal, sementara akses bantuan sering tertahan karena pembatasan yang ketat.
Laporan berbagai lembaga HAM dunia menyebutkan adanya:
UNESCO juga menyoroti risiko hilangnya warisan budaya Palestina akibat serangan dan blokade, sehingga pelestarian situs sejarah dan budaya Palestina menjadi semakin sulit.
Meski sejumlah negara telah meningkatkan tekanan diplomatik untuk gencatan senjata dan pengakuan negara Palestina, konsensus internasional masih belum tercapai. Perbedaan posisi politik global membuat penyelesaian konflik semakin kompleks.
Namun demikian, dukungan terhadap pengakuan negara Palestina terus tumbuh. Lebih dari 140 negara kini mengakui Negara Palestina secara resmi.
Di tengah krisis yang memburuk, Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina bukan lagi sekadar peringatan sejarah, tetapi menjadi:
Hari Solidaritas juga menjadi ajakan agar masyarakat global tidak melupakan akar sejarah konflik, serta memahami bahwa perjuangan rakyat Palestina adalah perjuangan untuk hak asasi manusia, keadilan, dan martabat.
Baca juga: Ketua Pergunu Usulkan Santri Terlibat Misi Perdamaian Palestina
Sejak ditetapkan tahun 1978, Hari Solidaritas Internasional untuk Rakyat Palestina telah menjadi simbol komitmen dunia terhadap penyelesaian konflik yang adil. Namun hingga hari ini, hak-hak rakyat Palestina masih tertahan oleh konflik dan blokade yang berlarut.
Dengan kondisi kemanusiaan yang kini berada pada titik kritis, solidaritas bukan sekadar simbol. Ia adalah kebutuhan mendesak untuk memastikan masa depan yang lebih manusiawi dan bermartabat bagi rakyat Palestina.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang