KOMPAS.com - Bilal bin Rabah dikenal sebagai salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling tepercaya, bukan karena status sosial atau kekayaan, tetapi karena keteguhan imannya, keberanian menghadapi siksaan, dan kesetiaan tanpa batas kepada Allah serta Rasul-Nya.
Ia adalah simbol persamaan derajat manusia dalam Islam, diangkat dari gelapnya perbudakan menjadi suara panggilan salat yang menggema di seluruh penjuru saat itu.
Dikutip dari buku The Great Sahabat karya Rizem Aizid, Bilal lahir di Mekkah sekitar tahun 580 Masehi sebagai budak dari Bani Jumah. Ayahnya, Rabah adalah budak Arab, sedangkan ibunya, Hamamah, diperkirakan berasal dari Abisinia (Ethiopia) yang ditawan kemudian diperbudak.
Ketika Nabi Muhammad SAW mulai berdakwah, Bilal termasuk di antara As-Sabiqûn al-Awwalûn, orang-orang pertama yang masuk Islam.
Baca juga: Kisah Bilal bin Rabah: Sang Muadzin Rasulullah SAW
Perubahan keyakinannya itu menarik perhatian majikannya saat itu, Umayyah bin Khalaf, seorang pemuka Quraisy yang keras menentang dakwah.
Iman Bilal tidak mudah tergoyahkan. Ketika disiksa dengan berat di padang pasir, ia tetap tegar mengucapkan “Ahad, Ahad,” satu, satu, sebagai pengakuan akan keesaan Allah SWT — meskipun tubuhnya dilumuri pasir panas di bawah terik mentari.
Keteguhan hati itu kemudian menarik perhatian Abu Bakar Ash-Shiddiq yang membeli Bilal dan membebaskannya dari perbudakan.
Baca juga: Usianya Belum 22 Tahun, Al-Fatih Taklukkan Kota yang Dianggap Mustahil
Setelah dibebaskan, Bilal menjadi salah satu sahabat yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad SAW dan aktif dalam dakwah.
Ketika umat Muslim mulai menetap di Madinah dan perlu sebuah cara untuk menandai waktu shalat, muncullah gagasan tentang adzan, panggilan untuk sholat.
Karena suaranya yang lantang, merdu, dan penuh penghayatan, Nabi Muhammad SAW memilih Bilal sebagai muazin pertama dalam sejarah Islam.
Ia mengumandangkan adzan dengan penuh khidmat, bukan sekadar sebagai rutinitas, tetapi sebagai panggilan spiritual yang mengikat umat kepada Allah SWT.
Momen itu menjadi simbol penting, suara seorang mantan budak kini menggema sebagai panggilan suci yang menyatukan umat Muslim dalam ibadah.
Bahkan setelah penaklukan Mekkah, Bilal diperintahkan untuk naik ke atas Ka’bah memanggil kaum Muslimin, suatu kehormatan yang membawa pesan kuat tentang persamaan derajat manusia di mata Islam.
Baca juga: Syahid yang Berjalan di Bumi, Kisah Pengorbanan Thalhah bin Ubaidillah
Perjalanan Bilal menuju statusnya sebagai muazin bukan tanpa ujian. Dalam masa awal dakwah, ia mengalami siksaan berat dari majikannya, termasuk dipaksa berbaring di pasir panas dengan batu di dadanya.
Meski begitu, iman Bilal tetap teguh dan ia terus mengulang kalimat Tauhid yang menggetarkan.
Keteguhan itu tidak hanya menarik perhatian sahabat lain, tetapi juga menunjukkan bahwa ketakwaan dan keberanian lahir dari keyakinan yang kuat, bukan dari status sosial atau kekuasaan.
Bilal menjadi salah satu contoh paling menonjol tentang bagaimana Islam membebaskan manusia dari belenggu sosial dan memberikan identitas baru berdasarkan iman.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada 632 M, kehidupan Bilal berubah. Ketika diminta untuk mengumandangkan adzan di Madinah, hatinya terguncang.
Setiap kali ia sampai pada kalimat “Ashhadu anna Muhammadan Rasulullah”, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, suaranya terhenti oleh tangis, karena rasa rindu yang mendalam kepada Nabi SAW.
Tak mampu lagi melanjutkan tugas itu di kota yang penuh kenangan, Bilal kemudian meninggalkan Madinah dan menetap di Syam (sekarang termasuk Suriah).
Dalam pengasingannya, ia tetap setia kepada agama yang dicintainya, berjuang dan berdoa agar suatu hari ia bertemu kembali dengan Rasulullah SAW.
Suatu ketika, ia kembali ke Madinah atas permintaan cucu Nabi, Bilal kembali mengumandangkan adzan.
Namun momen itu menjadi azan perpisahan; setelah sampai pada kalimat tentang Nabi SAW, suaranya terhenti dan kerumunan menangis mengenang masa lalu yang penuh cinta dan kebersamaan.
Tidak lama kemudian, Bilal jatuh sakit dan wafat di Damaskus pada tahun 640 M, dalam usia sekitar 60 tahun.
Baca juga: Kisah Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah
Kisah Bilal bin Rabah adalah sejarah tentang keteguhan iman di tengah siksaan, kebebasan dari perbudakan, dan pengabdian tanpa pamrih kepada Allah dan Nabi SAW.
Suara adzan yang pernah ia lantunkan bukan hanya panggilan waktu sholat, tetapi juga lambang kemenangan spiritual seseorang yang menembus batas sosial dan sejarah dirinya sendiri.
Dalam tiap lantunan Bilal yang menyebut “Allahu Akbar”, ada pesan abadi bahwa keimanan kuat mampu membentuk karakter mulia dan menjadi sumber inspirasi bagi generasi masa kini, sebuah warisan yang terus hidup di hati jutaan umat Muslim di seluruh dunia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang