KOMPAS.com - Abu Jahal yang terkenal dalam sirah nabawiyah sebagai penentang paling keras dakwah Nabi Muhammad SAW, sering dipandang sebagai simbol kebodohan dan kekafiran.
Namun bila ditelisik lebih dalam dari sumber-sumber sirah yang otoritatif, fakta yang muncul justru menempatkan figur ini sebagai elit Quraisy yang amat cerdas, penuh strategi, dan sadar akan kebenaran yang ditawarkan Islam.
Abu Jahal menolaknya demi kepentingan kekuasaan, status sosial, dan tatanan ekonomi Mekkah yang sedang bergejolak.
Baca juga: Kisah Abu Darda, Dari Pedagang Berhala Menjadi Guru Umat Islam
Amr bin Hisyam bukan nama asing dalam struktur sosial pra-Islam di Mekkah. Lelaki ini dikenal di kalangan Quraisy dengan gelar Abu al-Hakam yang berarti “bapak kebijaksanaan”.
Gelar itu bukan retorika semata, Abu al-Hakam adalah aristokrat Bani Makhzum, klan yang memiliki pengaruh besar di Mekkah dan menjadi rival abadi bagi Bani Hasyim, klan Nabi Muhammad sendiri.
Kepiawaiannya dalam hukum adat dan arbitrase antar suku menunjukkan kapasitas intelektual tinggi yang membuatnya mampu menempati posisi penting dalam pengambilan keputusan masyarakat Quraisy.
Karena itulah meskipun usianya relatif muda, sekitar 30 tahun, ia sudah masuk ke dalam Dar al-Nadwa, semacam parlemen atau dewan elit Quraisy yang biasanya hanya terbuka bagi yang berpengalaman dan berusia 40 tahun.
Ini mencerminkan bahwa Abu Jahal bukan sekadar tokoh yang populer, tetapi juga dihormati karena kebijaksanaan dan ketajaman politiknya.
Baca juga: Kisah Heroik Dua Anak Muda Menghabisi Abu Jahal di Perang Badar
Bagi Abu Jahal, mengakui kenabian Muhammad bukan sekadar persoalan teologis, itu adalah kekalahan politik total.
Jika seorang dari Banu Hasyim diakui sebagai nabi, maka legitimasi moral, sosial, dan simbolik akan jatuh sepenuhnya ke tangan klan rival.
Dalam logika aristokrasi Arab, hal ini sama dengan menyerahkan supremasi Mekkah kepada Banu Hasyim.
Dikutip dari buku Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam karya Raghib as-Sirjani, Abu Jahal secara pribadi mengakui kejujuran dan akhlak Nabi Muhammad.
Namun ia menolak mengikuti kebenaran itu karena takut kehilangan dominasi klannya. Pengakuan ini menunjukkan bahwa penolakannya bersifat sadar dan disengaja, bukan karena tidak paham ajaran Islam.
Baca juga: Para Penentang Dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah
Motif ekonomi juga memainkan peran besar. Kemakmuran Makkah bertumpu pada statusnya sebagai pusat ziarah Arab.
Ka’bah dikelilingi sekitar 360 berhala yang disembah berbagai kabilah. Setiap musim ziarah berarti arus manusia, perdagangan, dan keuntungan besar bagi elite Quraisy.
Islam datang dengan tauhid yang radikal, menghancurkan berhala dan menyamakan semua manusia di hadapan Tuhan.
Bagi Abu Jahal, ini adalah ancaman langsung terhadap model bisnis Makkah. Jika berhala runtuh, maka peziarah berhenti datang.
Jika peziarah hilang, kota akan bangkrut. Dalam kerangka ini, Islam bukan sekadar agama baru, melainkan ideologi subversif yang mengancam stabilitas ekonomi.
Baca juga: Kisah Al Qadhi Abu Bakar Muhammad: Balasan keikhlasan
Islam juga mengguncang tatanan kelas yang selama ini menguntungkan aristokrasi. Dalam Islam, kemuliaan tidak diukur dari nasab, kekayaan, atau status, melainkan dari takwa.
Bagi Abu Jahal, gagasan ini tidak hanya asing, tetapi menghina. Ia menolak disamakan posisinya dengan mantan budak seperti Bilal bin Rabah.
Penolakan ini menunjukkan bahwa konflik Abu Jahal dengan Islam adalah konflik nilai. Ia mempertahankan hierarki sosial lama yang menempatkan elite Quraisy di puncak, sementara Islam menawarkan tatanan baru yang egaliter dan revolusioner.
Baca juga: Kisah Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah
Julukan Abu Jahal bukan diberikan karena ia kurang ilmu atau kecerdasan. Sebaliknya, ia disebut “jahal” karena memilih menukar kebenaran abadi dengan kekuasaan sementara.
Dalam perspektif Islam, kebodohan terbesar bukanlah ketidaktahuan, melainkan kesengajaan menolak kebenaran yang telah diyakini.
Sejarah mencatat Abu Jahal sebagai figur tragis, seorang cerdas yang kalah oleh gengsi, seorang negarawan yang takut kehilangan tahta dan seorang intelektual yang mengorbankan nurani demi dominasi.
Dalam dirinya, Islam berhadapan bukan dengan kebodohan, melainkan dengan ketakutan elite terhadap perubahan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang