Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Abu Jahal: Musuh Nabi yang Sadar Kebenaran, tapi Menolaknya

Kompas.com, 29 Desember 2025, 12:00 WIB
Norma Desvia Rahman,
Khairina

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Abu Jahal yang terkenal dalam sirah nabawiyah sebagai penentang paling keras dakwah Nabi Muhammad SAW, sering dipandang sebagai simbol kebodohan dan kekafiran.

Namun bila ditelisik lebih dalam dari sumber-sumber sirah yang otoritatif, fakta yang muncul justru menempatkan figur ini sebagai elit Quraisy yang amat cerdas, penuh strategi, dan sadar akan kebenaran yang ditawarkan Islam.

Abu Jahal menolaknya demi kepentingan kekuasaan, status sosial, dan tatanan ekonomi Mekkah yang sedang bergejolak.

Baca juga: Kisah Abu Darda, Dari Pedagang Berhala Menjadi Guru Umat Islam

Abu al-Hakam, Aristokrat Bani Makhzum

Amr bin Hisyam bukan nama asing dalam struktur sosial pra-Islam di Mekkah. Lelaki ini dikenal di kalangan Quraisy dengan gelar Abu al-Hakam yang berarti “bapak kebijaksanaan”.

Gelar itu bukan retorika semata, Abu al-Hakam adalah aristokrat Bani Makhzum, klan yang memiliki pengaruh besar di Mekkah dan menjadi rival abadi bagi Bani Hasyim, klan Nabi Muhammad sendiri.

Kepiawaiannya dalam hukum adat dan arbitrase antar suku menunjukkan kapasitas intelektual tinggi yang membuatnya mampu menempati posisi penting dalam pengambilan keputusan masyarakat Quraisy.

Karena itulah meskipun usianya relatif muda, sekitar 30 tahun, ia sudah masuk ke dalam Dar al-Nadwa, semacam parlemen atau dewan elit Quraisy yang biasanya hanya terbuka bagi yang berpengalaman dan berusia 40 tahun.

Ini mencerminkan bahwa Abu Jahal bukan sekadar tokoh yang populer, tetapi juga dihormati karena kebijaksanaan dan ketajaman politiknya.

Baca juga: Kisah Heroik Dua Anak Muda Menghabisi Abu Jahal di Perang Badar

Gengsi Klan dan Pertaruhan Kekuasaan

Bagi Abu Jahal, mengakui kenabian Muhammad bukan sekadar persoalan teologis, itu adalah kekalahan politik total.

Jika seorang dari Banu Hasyim diakui sebagai nabi, maka legitimasi moral, sosial, dan simbolik akan jatuh sepenuhnya ke tangan klan rival.

Dalam logika aristokrasi Arab, hal ini sama dengan menyerahkan supremasi Mekkah kepada Banu Hasyim.

Dikutip dari buku Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam karya Raghib as-Sirjani, Abu Jahal secara pribadi mengakui kejujuran dan akhlak Nabi Muhammad.

Namun ia menolak mengikuti kebenaran itu karena takut kehilangan dominasi klannya. Pengakuan ini menunjukkan bahwa penolakannya bersifat sadar dan disengaja, bukan karena tidak paham ajaran Islam.

Baca juga: Para Penentang Dakwah Nabi Muhammad SAW di Madinah

Ancaman terhadap Ekonomi Makkah

Motif ekonomi juga memainkan peran besar. Kemakmuran Makkah bertumpu pada statusnya sebagai pusat ziarah Arab.

Ka’bah dikelilingi sekitar 360 berhala yang disembah berbagai kabilah. Setiap musim ziarah berarti arus manusia, perdagangan, dan keuntungan besar bagi elite Quraisy.

Islam datang dengan tauhid yang radikal, menghancurkan berhala dan menyamakan semua manusia di hadapan Tuhan.

Bagi Abu Jahal, ini adalah ancaman langsung terhadap model bisnis Makkah. Jika berhala runtuh, maka peziarah berhenti datang.

Jika peziarah hilang, kota akan bangkrut. Dalam kerangka ini, Islam bukan sekadar agama baru, melainkan ideologi subversif yang mengancam stabilitas ekonomi.

Baca juga: Kisah Al Qadhi Abu Bakar Muhammad: Balasan keikhlasan

Penolakan terhadap Kesetaraan Sosial

Islam juga mengguncang tatanan kelas yang selama ini menguntungkan aristokrasi. Dalam Islam, kemuliaan tidak diukur dari nasab, kekayaan, atau status, melainkan dari takwa.

Bagi Abu Jahal, gagasan ini tidak hanya asing, tetapi menghina. Ia menolak disamakan posisinya dengan mantan budak seperti Bilal bin Rabah.

Penolakan ini menunjukkan bahwa konflik Abu Jahal dengan Islam adalah konflik nilai. Ia mempertahankan hierarki sosial lama yang menempatkan elite Quraisy di puncak, sementara Islam menawarkan tatanan baru yang egaliter dan revolusioner.

Baca juga: Kisah Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah

Mengapa Ia Disebut “Jahal”?

Julukan Abu Jahal bukan diberikan karena ia kurang ilmu atau kecerdasan. Sebaliknya, ia disebut “jahal” karena memilih menukar kebenaran abadi dengan kekuasaan sementara.

Dalam perspektif Islam, kebodohan terbesar bukanlah ketidaktahuan, melainkan kesengajaan menolak kebenaran yang telah diyakini.

Sejarah mencatat Abu Jahal sebagai figur tragis, seorang cerdas yang kalah oleh gengsi, seorang negarawan yang takut kehilangan tahta dan seorang intelektual yang mengorbankan nurani demi dominasi.

Dalam dirinya, Islam berhadapan bukan dengan kebodohan, melainkan dengan ketakutan elite terhadap perubahan.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com