KOMPAS.com - Musa kini mendapat hak istimewa yang tak pernah dimiliki manusia biasa, berbicara langsung dengan Tuhan.
Setelah menempuh perjalanan bersama keluarganya melewati Madyan, suara ilahi itu datang, memanggil Musa bukan sebagai pelarian, bukan pula sebagai anak asuh istana, melainkan sebagai nabi.
Sebuah mandat yang tidak diperoleh melalui jenjang pendidikan atau garis keturunan, tetapi melalui titah langsung Tuhan.
Baca juga: Doa Mustajab Nabi Musa AS agar Dimudahkan Segala Urusan
Tugas yang diembankan kepadanya jauh dari kata ringan. Musa diminta mendatangi Firaun, raja Mesir yang dikenal bengis dan absolut.
Seorang penguasa yang membangun kekuasaannya di atas keyakinan palsu, menganggap dirinya tuhan, merasa berhak menentukan hidup dan mati manusia.
Di bawah sistem itu, Bani Israil hidup dalam penindasan panjang. Kini, Tuhan menilai waktunya telah tiba. Musa dipanggil untuk menantang kekuasaan yang menuhankan diri sendiri.
Baca juga: Teguran Allah SWT kepada Nabi Musa AS Berujung Dipermalukan Nabi Khidir
Dikutip dari buku Kisah-kisah Pembebasan dalam Qur'an karya Eko Prasetyo, Musa bukan sosok tanpa gentar.
Ia membawa keyakinan, tetapi juga kegelisahan. Yang dimintanya bukan senjata, bukan pula penangguhan tugas, melainkan seorang sahabat.
Musa meminta Harun, saudaranya, untuk menyertainya. Ia sadar mukjizat tongkat yang bisa berubah menjadi ular tidak akan bermakna tanpa keberanian dan kelapangan jiwa. Harun dengan kefasihan dan ketenangannya, diyakini mampu melengkapi kekurangan itu.
Permintaan itu dikabulkan. Tuhan bukan hanya mengizinkan, tetapi juga mengingatkan Musa tentang jejak perlindungan yang telah lama menyertainya, ketika ia masih bayi, dihanyutkan di Sungai Nil, lalu diasuh di bawah pengawasan Tuhan sendiri.
Ingatan itu meneguhkan keyakinan Musa bahwa perjalanan ini bukan dimulai hari ini, melainkan telah dirancang sejak lama.
Ketika misi dimulai, Tuhan memberikan arahan yang justru terasa paradoksal. Musa dan Harun diperintahkan untuk menyampaikan pesan dengan kata-kata yang lemah lembut, meski berhadapan dengan penguasa yang melampaui batas.
Pesan ini mengguncang nalar. Bagaimana mungkin kelembutan diarahkan kepada sosok yang oleh Alquran sendiri digambarkan kejam dan durhaka.
Namun, di situlah letak etika dakwah yang ditekankan, kebenaran tidak dibawa dengan kemarahan, apalagi kebencian.
Kekuasaan yang keras tidak dilawan dengan kebuasan serupa. Pesan ilahi menuntut kesabaran, adab, dan harapan bahwa bahkan penguasa zalim masih mungkin tersentuh oleh kesadaran atau rasa takut kepada Tuhan.
Baca juga: Kisah Nabi Musa AS Menurut Al Quran yang Penuh Hikmah
Kecemasan Musa dan Harun manusiawi. Nama Firaun identik dengan kekerasan dan hukuman tanpa ampun.
Namun, Tuhan menenangkan mereka. Keduanya tidak sendirian. Tuhan mendengar dan melihat setiap langkah mereka. Keyakinan itu menjadi perisai yang menyingkirkan kabut keraguan.
Berbekal itulah Musa dan Harun memilih jalan damai. Tidak ada pemberontakan bersenjata. Tidak ada propaganda kasar.
Mereka membawa kebenaran dengan ketenangan, sebuah strategi yang kelak berulang dalam banyak ajaran Al-Qur’an, mencela dan memaki bukan jalan pembebasan.
Setelah Firaun ditaklukkan, ujian tidak berhenti. Justru Bani Israil umat yang dibebaskan menjadi tantangan berikutnya.
Mereka mudah terpesona oleh kemegahan fisik dan mukjizat. Permintaan demi permintaan diajukan, berhala untuk disembah, makanan beragam untuk memuaskan selera. Tuhan seolah diperlakukan sebagai pelayan keinginan naif.
Musa menegur dengan tegas, tetapi tidak mengutuk. Tongkat mukjizat tidak digunakan untuk melampiaskan amarah kepada umatnya sendiri. Kesabaran kembali menjadi kata kunci.
Baca juga: 9 Mukjizat Nabi Musa Lengkap: Dari Tongkat Hingga Laut Terbelah
Ketika Musa pergi ke Bukit Thur untuk menerima wahyu, Harun ditinggalkan memimpin umat yang rapuh keyakinannya.
Di saat itulah Samiri muncul, menciptakan ilusi keimanan melalui patung anak sapi. Harun berada di pilihan yang nyaris mustahil, jika bertindak keras, umat akan terpecah, jika diam, kesesatan akan meluas.
Harun memilih jalan paling sulit, lembut namun tegas. Ia mengingatkan, memperingatkan, dan bertahan menjaga sisa-sisa iman.
Ia tidak menggantikan Musa, tidak pula merebut kepemimpinan. Ia hanya menjaga agar benteng keyakinan tidak runtuh sepenuhnya.
Ketika Musa kembali dan mendapati kaumnya tersesat, amarahnya memuncak dan Harun menjadi sasaran.
Namun Harun mengingatkan dengan sapaan paling personal: “Wahai putra ibuku…”.
Sebuah panggilan yang melunakkan kemarahan dan mengembalikan kesadaran akan persaudaraan.
Baca juga: Lokasi Dialog Nabi Musa dengan Allah di Mesir Dijadikan Resor Mewah
Kisah Musa dan Harun memperlihatkan betapa rapuh dan beratnya jalan dakwah. Bahkan dua nabi pun diuji oleh emosi, kekecewaan, dan salah paham.
Namun, persahabatan yang dibangun di atas iman menjaga mereka tetap satu arah: menyatukan, bukan memecah, membimbing, bukan menghakimi.
Di tengah dunia yang gemar melawan kekerasan dengan kekerasan, kisah ini menawarkan jalan lain.
Jalan yang tidak selalu cepat, tidak selalu heroik, tetapi berakar pada kesabaran, kelembutan, dan keyakinan bahwa kebenaran paling kokoh justru lahir dari cara yang paling manusiawi.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang