Editor
KOMPAS.com-Malam pergantian tahun kerap diwarnai berbagai bentuk euforia berlebihan, mulai dari pesta, konvoi, hingga keramaian yang berlangsung hingga larut malam.
Menanggapi fenomena tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau umat Islam agar menyikapi tahun baru secara lebih bijak dan tidak terjebak dalam perilaku yang melampaui batas.
Anggota Komisi Fatwa MUI, KH Zia Ul Haramein, menyampaikan bahwa perayaan tahun baru tidak memiliki landasan khusus dalam syariat Islam.
Baca juga: Ketua MUI Imbau Malam Tahun Baru 2026 Diisi Doa Bersama, Bukan Hura-hura
Karena tidak memiliki dasar ibadah, perayaan tahun baru tidak dianjurkan untuk dijadikan agenda keagamaan oleh umat Islam.
“Merayakan tahun baru itu tidak ada syariatnya, sehingga secara hukum masuk kategori mubah,” ujar KH Zia, Selasa (30/12/2025), dilansir dari laman MUI.
Ia menjelaskan bahwa sesuatu yang hukumnya mubah dapat berubah status menjadi haram apabila di dalamnya mengandung unsur yang dilarang agama.
Unsur tersebut antara lain israf atau sikap berlebihan dalam menghabiskan harta, tenaga, dan waktu untuk hal yang tidak bermanfaat.
“Sesuatu yang mubah bisa menjadi haram ketika di dalamnya terdapat israf,” tegasnya.
Islam, menurut KH Zia, secara tegas melarang perilaku berlebihan dalam kehidupan sehari-hari.
Baca juga: MUI Kaji Surat Pengunduran Diri Ma’ruf Amin dari Ketua Wantim
Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa salah satu tanda baiknya Islam seseorang adalah ketika ia mampu meninggalkan perkara yang tidak membawa manfaat.
Meski demikian, KH Zia menegaskan umat Islam tidak dilarang melakukan aktivitas apa pun selama tetap berada dalam koridor syariat.
Kegiatan seperti berkumpul bersama keluarga, makan bersama, atau berbagi dengan anak yatim dan kaum dhuafa dinilai sebagai perbuatan yang dibolehkan.
Bahkan, aktivitas tersebut dapat bernilai kebaikan apabila dilakukan dengan niat yang benar.
Menurut KH Zia, malam pergantian tahun justru dapat dimanfaatkan sebagai momentum peningkatan iman dan refleksi diri.
Ia menganjurkan agar waktu tersebut diisi dengan muhasabah, evaluasi diri, serta perencanaan amal saleh ke depan.
Baca juga: Menag: Potensi Zakat Indonesia Rp 220 Triliun per Tahun, Baru Terkumpul Rp 41 T
Kepedulian sosial seperti memberi makan, berbagi, dan mengajak pada kesantunan juga dinilai lebih bermanfaat dibandingkan euforia semu.
KH Zia menilai berkumpul bersama keluarga jauh lebih bermakna dibandingkan mengikuti keramaian di ruang publik.
Keramaian tersebut, menurutnya, kerap berujung pada pemborosan dan aktivitas yang tidak produktif.
“Berkumpul dengan keluarga lebih menenangkan dan lebih bermakna,” ujarnya.
Dalam menyikapi keluarga atau lingkungan yang masih merayakan tahun baru secara berlebihan, KH Zia mengimbau umat Islam bersikap bijak.
Ia meminta agar nasihat disampaikan secara persuasif dan tidak dengan cara yang keras.
Sikap ekstrem dan frontal justru dinilai berpotensi menimbulkan penolakan dan tidak membawa kebaikan.
KH Zia menegaskan bahwa pergantian tahun pada hakikatnya tidak berbeda dengan hari-hari lainnya.
Perbedaan hanya terletak pada bagaimana manusia memaknai dan mengisi waktu tersebut.
“Muhasabah jauh lebih baik daripada berhura-hura, bahkan tidur lebih baik daripada melakukan hal yang sia-sia,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang