Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hukum Memperingati dan Merayakan Maulid Nabi Menurut Beberapa Ulama

Kompas.com - 04/09/2025, 20:03 WIB
Agus Susanto

Penulis

KOMPAS.com - Bulan Rabiul awal disebut dengan bulan kelahiran Nabi karena pada bulan tersebut Rasulullah Muhammad SAW lahir. Tepatnya tanggal 12 Rabiul Awal tahun gajah.

Hari kelahiran Nabi disebut juga dengan Maulid Nabi yang diperingati dan dirayakan umat Islam seluruh dunia. Peringatan dan perayaan ini menjadi tradisi yang dilakukan setiap tahun.

Mengenai peringatan dan perayaan Maulid Nabi, beberapa ulama berselisih pendapat mengenai boleh atau tidaknya memperingati dan merayakan Maulid Nabi.

Baca juga: Kisah Pasukan Bergajah Menjelang Lahirnya Rasulullah SAW

Sejarah Peringatan dan Perayaan Maulid Nabi

Ada tiga versi kapan dimulainya peringatan dan perayaan Maulid Nabi secara besar-besaran. Pertama, dimulai pada masa Dinasti Abbasiyah.

Peringatan dan Perayaan Maulid Nabi Dimulai pada Masa Dinasti Abbasiyah

Dilansir dari baznas.go.id, peringatan Maulid Nabi sudah dikenal sejak abad kedua hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Al Mahdi dari Dinasti Abbasiyah. Perayaan ini digagas oleh Jurasyiyah binti 'Atha, istri dari Khalifah Al Mahdi.

Saat itu Jurasyiyah binti 'Atha memerintahkan penduduk untuk merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW di rumah-rumah mereka. Versi ini merujuk pada kitab Wafa’ul Wafa bi Akhbar Darul Mustafa karangan Nuruddin Ali.

Baca juga: Kisah Kelahiran Nabi Muhammad SAW

Peringatan dan Perayaan Maulid Nabi Dimulai pada Masa Dinasti Fatimiyah

Menurut Al Maqrizy dalam kitabnya Al Khutath, perayaan Maulid Nabi dimulai pada abad IV Hijriyah oleh Dinasti Fatimiyah di Mesir.

Raja pertama Dinasti Fatimiyah, Al Muiz Lidinillah membuat enam hari perayaan, yaitu hari lahir Nabi Muhammad, hari lahir Ali bin Abi Thalib, hari lahir Fatimah, hari lahir Hasan, hari lahir Husein, dan hari lahir raja yang berkuasa.

Tradisi ini sempat dihapus pada masa pemerintahan Al Afdhal, sebelum akhirnya dihidupkan kembali pada masa pemerintahan Al Amir Liahkamillah.

Perayaan Maulid Nabi Dimulai Pada Masa Raja Mudzaffar

Imam Jalaludin As Suyuthi dalam kitab Husnul Maqshid fi Amalil Maulid menyampaikan bahwa perayaan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil, salah satu daerah di Irak yang bernama Mudzaffar Abu Said Kukburi bin Zainuddin Ali.

Menurut Ibnu Katsir, Raja Mudzaffar mengadakan perayaan Maulid Nabi secara besar-besaran pada saat itu.

Baca juga: Kisah Penyusuan Nabi Muhammad SAW kepada Halimah Sa’diyah

Hukum Memperingati dan Merayakan Maulid Nabi

Ada golongan yang melarang perayaan Maulid Nabi dan ada pula yang memperbolehkannya.

Berikut pendapat beberapa Ulama mengenai peringatan dan perayaan Maulid Nabi, baik yang membolehkan maupun yang melarangnya.

Ulama yang Membolehkan Peringatan dan Perayaan Maulid Nabi

Pertama, Imam Jalaluddin As Suyuthi dalam kitabnya Al Hawi Lil Fatawa menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah hasanah yang pelakunya memperoleh pahala.

Sebab hal tersebut merupakan bentuk mengagungkan Nabi Muhammad SAW dan mengungkapkan rasa bahagia akan kelahiran Nabi yang Mulia.

Kedua, Imam Abu Syamah dalam kitab I'anah Thalibin menyatakan bahwa sebagus-bagusnya bid’ah pada masa sekarang yaitu merayakan setiap tahun Maulid Nabi dengan bersedekah, mengerjakan yang ma'ruf, menampakkan rasa kegembiraan.

Maka sesungguhnya yang demikian itu didalamnya ada kebaikan hingga para fuqara' membaca syair dengan rasa cinta kepada Nabi.

Ketiga, Imam Syamsuddin Al Jazari dalam Anwarul Muhammadiyah menyatakan jika Abu Lahab yang kafir yang diturunkan ayat Al Quran untuk mencelanya masih diberi ganjaran kebaikan di dalam neraka karena bergembira pada malam Maulid Nabi.

Lantas bagaimana dengan seorang Muslim yang mentauhidkan Allah dan merupakan umat Nabi Muhammad yang senang dengan kelahiran Beliau dan menafkahkan apa yang dia mampu demi kecintaannya kepada Nabi.

Baca juga: Kisah Hidup Nabi Muhammad SAW: Masa Pengasuhan Ibu, Kakek, dan Paman

Ulama yang Melarang Peringatan dan Perayaan Maulid Nabi

Pertama, Syekh Tajuddin Al Fakihani dalam kitabnya Al Mawrid Fi Amalil Maulid melarang mengadakan peringatan Maulid Nabi karena tidak ada dalil dari Al Quran dan hadits yang menerangkan mengenai hal tersebut.

Ia juga menyampaikan bahwa para ulama juga tidak melaksanakan perayaan tersebut. Hukum merayakan Maulid menurut Syekh Tajuddin Al Fakihani adalah bid’ah.

Kedua, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqi dalam Majmu’ Fatawa menyatakan bahwa melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha, seperti perayaan Maulid Nabi, perayaan Isra’ Mi’raj pada bulan Rajab, dll, semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para generasi terdahulu (salaf) dan mereka juga tidak pernah melaksanakannya.

Hikmah Memperingati dan Merayakan Maulid Nabi

Peringatan dan perayaan Maulid Nabi tentunya tidak dianjurkan jika hanya dirayakan dengan bersenang-senang dan justru melupakan esensi dari perayaan tersebut.

Adapun ketika peringatan dan perayaan dilakukan untuk syiar dan mengambil pelajaran dari kisah kehidupan Rasulullah Muhammad SAW, ada beberapa hikmah yang bisa diambil.

Baca juga: Kisah Pengangkatan Menjadi Nabi dan Turunnya Wahyu Pertama

Memahami Sejarah Perjuangan Nabi Muhammad SAW

Dengan memahami sejarah perjuangan Rasulullah SAW, kitab isa mengambil hikmah bahwa dalam hidup ini kita harus berjuang untuk mewujudkan apa yang kita cita-citakan.

Dengan memohon pertolongan Allah SWT, maka semua perjuangan akan menemui hasil yang memuaskan.

Semakin mencintai Nabi Muhammad SAW

Dengan adanya perayaan maulid Nabi, mendengarkan kisah perjuangan Nabi Muhammad SAW, hal ini dapat meningkatkan kecintaan kita kepada Nabi akhir zaman ini.

Dalam sebuah hadits dijelaskan bila Anas bin Malik suatu hari bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kapan terjadinya hari kiamat.

Rasulullah SAW kemudian balik bertanya apa yang sudah disiapkan Anas bin Malik. Ia menjawab bahwa yang disiapkan adalah mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Rasulullah SAW kemudian bersabda:

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

Artinya: “Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Ketika kita mencintai Rasulullah SAW kemudian mengikuti risalahnya dengan sebaik-baiknya, insya Allah nanti pada hari kiamat akan dikumpulkan Bersama Rasulullah SAW.

Momen untuk Meneladani Rasulullah Muhammad SAW

Hal paling penting dalam memperingati maulid nabi adalah bagaimana kemudian kita bisa menjadikan Rasulullah SAW sebagai panutan dalam hidup dan suri tauladan.

Allah SWT dalam Al Quran surat Al Ahzab ayat 21 menjelaskan bahwa Rasulullah SAW adalah suri tauladan bagi manusia.

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلْءَاخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرًا

Artinya: “Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.”

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke