KOMPAS.com-Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW telah menjadi tradisi di berbagai negara Islam, termasuk Indonesia. Bagaimana hukumnya?
Dilansir dari laman MUI, mayoritas ulama menyebut memperingati Maulid Nabi hukumnya boleh.
Peringatan ini tidak termasuk bid’ah dhalalah (mengada-ada yang sesat), melainkan tergolong bid’ah hasanah (sesuatu yang baik).
Hal ini karena tidak ada dalil yang mengharamkannya, justru terdapat dasar yang membolehkannya.
Baca juga: Maulid Nabi 1447 H Tingkat Kenegaraan Digelar di Masjid Istiqlal 4 September 2025
Secara istilah, bid’ah hasanah adalah sesuatu yang tidak dilakukan Nabi maupun sahabat, tetapi memiliki nilai kebaikan serta tidak bertentangan dengan Alquran dan Hadis.
Sementara bid’ah dhalalah adalah amalan baru yang jelas bertentangan dengan syariat.
Salah satu dasar kebolehan Maulid Nabi adalah hadis riwayat Muslim. Rasulullah SAW bersabda saat ditanya alasan beliau berpuasa setiap Senin:
“Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu pula wahyu diturunkan kepadaku.” (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan Rasulullah SAW mengekspresikan syukur atas kelahirannya.
Baca juga: 6 Sholawat Maulid Nabi Muhammad SAW Lengkap Arab, Latin, dan Artinya
Selain itu, Alquran juga mendorong umat Islam bergembira atas rahmat Allah, termasuk kelahiran Nabi Muhammad SAW:
قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ
qul bifadllillâhi wa biraḫmatihî fa bidzâlika falyafraḫû, huwa khairum mimmâ yajma‘ûn
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”
Bahkan, dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan Abu Lahab—seorang kafir yang dicela Alquran—diringankan siksanya setiap Senin karena pernah bergembira menyambut kelahiran Nabi.
Jika seorang kafir mendapat keringanan, maka kegembiraan seorang Muslim jelas lebih utama.
Tradisi Maulid Nabi tidak hanya berkembang di Indonesia, tetapi juga di hampir seluruh negeri Muslim.
Bentuk acaranya beragam, mulai dari pembacaan shalawat, doa, dzikir, hingga kisah kelahiran Rasulullah.
Menurut para ulama, peringatan Maulid bukan bagian dari ibadah mahdhah atau ritual pokok agama, melainkan bentuk syi’ar Islam yang sifatnya ijtihadi dan mubah. Artinya, bentuk acaranya bisa bervariasi sesuai kebutuhan umat.
Baca juga: Kapan Maulid Nabi Muhammad SAW 2025? Ini Jadwal, Sejarah, dan Amalan Sunnah
Beberapa ulama besar memberikan pandangan mengenai kebolehan Maulid Nabi:
Agar tidak melenceng, peringatan Maulid Nabi sebaiknya diisi dengan:
Baca juga: 12 Rabiul Awal: Sejarah, Makna, dan Tradisi Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
Catatan sejarah menyebut, perayaan Maulid pertama kali dilakukan secara besar-besaran oleh Raja Al-Mudhaffar Abu Sa’id Kukburi (549–630 H). Ia mengeluarkan hingga 300.000 dinar untuk sedekah pada perayaan Maulid.
Tradisi itu kemudian melahirkan karya sastra dan syair yang menceritakan kelahiran Nabi, salah satunya karya populer Syaikh Al-Barzanji.
Hingga kini, Barzanji masih sering dibacakan dalam peringatan Maulid di berbagai daerah.
Di Indonesia, terutama di pesantren, Maulid awalnya hanya diisi pembacaan syair dan doa. Seiring waktu, tradisi ini berkembang dengan tambahan ceramah agama, atraksi santri, hingga kegiatan sosial seperti santunan anak yatim, bakti sosial, pameran produk halal, dan pentas seni.
Hal ini menunjukkan bahwa Maulid Nabi tidak hanya menjadi momentum spiritual, tetapi juga sarana dakwah, pendidikan, dan penguatan persatuan umat.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini