KOMPAS.com – Dalam beberapa waktu terakhir, kasus bunuh diri akibat lilitan utang sering mewarnai pemberitaan.
Mulai dari kepala keluarga yang tak mampu membayar cicilan, hingga anak muda yang terjerat pinjaman daring.
Utang yang menumpuk tidak hanya menguras harta, tetapi juga memengaruhi kesehatan mental. Banyak orang akhirnya mengalami stres kronis, kecemasan, rasa gagal, hingga pikiran putus asa.
Baca juga: Benarkah Bayi Lahir Sudah Menanggung Utang Negara? Begini Penjelasan Islam
Di tengah situasi tersebut, solusi yang kerap dicari adalah tambahan penghasilan, negosiasi dengan pemberi pinjaman, atau bahkan menghindar dari masalah. Namun, ada satu dimensi yang kerap terlupakan, yaitu doa, seperti dilansir dari laman Muhammadiyah.
Salah satu doa yang diriwayatkan dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī berbunyi:
اللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بكَ مِنَ الهَمِّ والحَزَنِ، والعَجْزِ والكَسَلِ، والبُخْلِ والجُبْنِ، وضَلَعِ الدَّيْنِ، وغَلَبَةِ الرِّجَالِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat kikir dan pengecut, dari jeratan utang yang berat, dan dari tekanan manusia lain.” (HR. al-Bukhārī).
Hadis ini diriwayatkan dalam konteks perjalanan Nabi SAW menuju Khaibar. Ketika itu, beliau meminta Abu Thalhah menghadirkan seorang pemuda untuk membantu, dan Anas bin Malik yang masih remaja pun diutus.
Baca juga: Ancaman dalam Islam bagi Orang yang Sengaja Tidak Mau Membayar Utang
Di tengah kesibukan menjelang perang besar, Rasulullah tetap menjaga kekuatan batin dengan doa ini.
Menariknya, doa tersebut tidak hanya sekali diucapkan, tetapi berulang kali (yukthir an yaqūluhū).
Hal ini menunjukkan kesadaran Nabi SAW akan besarnya ancaman utang dan tekanan mental terhadap kualitas hidup seorang Muslim.
Setiap lafaz dalam doa ini memiliki makna mendalam:
Keduanya dapat melemahkan jiwa jika tidak dikendalikan. Nabi SAW memohon perlindungan dari keduanya agar umat tidak kehilangan semangat hidup.
Nabi juga berlindung dari al-‘ajz (kelemahan) dan al-kasal (kemalasan), dua sifat yang menghalangi produktivitas.
Disusul dengan al-bukhl (kikir) dan al-jubn (pengecut), sifat yang merusak hubungan sosial dan membuat jiwa menjadi sempit.
Dalam syarah Syarḥ al-Du‘ā’ min al-Kitāb wa al-Sunnah, ulama Abu ‘Abd al-Rahman Mahir ibn ʿAbd al-Hamid menyebut sifat-sifat itu sebagai “pengganggu kehidupan” yang melemahkan tubuh, pikiran, dan hati.
Baca juga: Utang Harus Dilunasi, Bahaya Bila Dibawa Mati
Nabi SAW juga menekankan perlindungan dari ḍala‘ al-dayn (jeratan utang). Sebab utang tidak hanya memberatkan finansial, tetapi bisa mendorong seseorang untuk berbohong, ingkar janji, hingga lalai beribadah.
Doa ini ditutup dengan permohonan dijauhkan dari ghalabat al-rijāl (tekanan manusia lain), yaitu penindasan atau ketidakadilan sosial.
Pesan dalam doa Nabi SAW terasa semakin relevan dengan kondisi modern. Kecemasan masa depan, kesedihan masa lalu, dan jeratan utang kini menjadi masalah serius yang berimplikasi pada kesehatan mental.
Tekanan sosial pun hadir dalam bentuk perundungan (bullying), kekerasan, hingga eksploitasi.
Karena itu, doa ini dapat dipahami sebagai terapi jiwa sekaligus perisai moral. Rasulullah SAW mencontohkan bahwa iman bukan hanya soal ibadah ritual, tetapi juga mencakup kesehatan mental, sosial, dan ekonomi.
Dengan doa ini, seorang Muslim diajarkan untuk menjaga keseimbangan batin, memperkuat keimanan, serta membangun ketahanan menghadapi cobaan hidup.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini