KOMPAS.com-Dalam ajaran Islam, utang dipandang sebagai amanah besar yang harus segera ditunaikan.
Rasulullah SAW memberikan peringatan keras mengenai beratnya tanggungan seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki utang.
Dilansir dari laman Muhammadiyah, dalam sebuah riwayat, Nabi SAW bahkan enggan menyalatkan jenazah seorang muslim yang masih berutang, hingga ada sahabat yang bersedia menanggung utangnya.
Baca juga: Keutamaan Memberikan Kelonggaran Pembayaran Utang
Hadis riwayat al-Bukhari dari Salamah bin al-Akwa’ ra. menegaskan hal tersebut, ketika Abu Qatadah ra. berkata, “Shalatkanlah dia, wahai Rasulullah, utangnya menjadi tanggunganku,” maka Nabi pun menyalatkan jenazah itu.
Hadis ini menunjukkan bahwa utang pribadi merupakan tanggung jawab serius.
Utang yang belum lunas bisa menghalangi seseorang di akhirat hingga dilunasi oleh harta peninggalan atau ditanggung oleh keluarga yang mampu.
Rasulullah SAW juga bersabda, “Menunda membayar utang bagi orang kaya (mampu) adalah kezhaliman.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Baca juga: Ancaman dalam Islam bagi Orang yang Sengaja Tidak Mau Membayar Utang
Muncul pertanyaan, apakah rakyat ikut menanggung dosa akibat utang negara di akhirat.
Islam menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang menanggung dosa orang lain, sebagaimana firman Allah dalam QS. an-Najm [53]: 38–39.
اَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۙ
وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ
allâ taziru wâziratuw wizra ukhrâ. wa al laisa lil-insâni illâ mâ sa‘â
Artinya: (Dalam lembaran-lembaran itu terdapat ketetapan) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya,
Keputusan untuk berutang serta penggunaannya merupakan kewenangan pemerintah, bukan tanggung jawab individu warga negara.
Oleh karena itu, beban moral dan pertanggungjawaban ukhrawi terkait utang negara berada pada pemimpin dan pengelola kebijakan tersebut.
Baca juga: Doa Terbebas dari Utang: Arab, Latin, dan Artinya
Pernyataan bahwa setiap warga negara, bahkan bayi yang baru lahir, menanggung utang negara hanyalah perhitungan matematis.
Hitungan itu diperoleh dengan membagi total utang negara dengan jumlah penduduk, sehingga tidak berarti setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Meski demikian, rakyat tetap merasakan dampak ekonomi dari kebijakan utang, misalnya melalui beban pajak, inflasi, hingga terbatasnya ruang fiskal negara.
Dalam perspektif Islam, tanggung jawab moral dan ukhrawi utang negara berada pada pemimpin yang mengambil keputusan berutang.
Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
Prinsip ini menegaskan bahwa amanah kepemimpinan harus dijalankan dengan bijak demi kepentingan umat, bangsa, dan negara.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini