Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Santri Nihadlul Qulub Zikir di Atas Awan, Taklukkan Puncak Gunung Slamet

Kompas.com, 13 Agustus 2025, 13:05 WIB
Farid Assifa

Editor

Sumber Kemenag

KOMPAS.com – Enam santri Pesantren Tahfidz Nihadlul Qulub, Tegal, Jawa Tengah, punya cara unik menyambut Hari Kemerdekaan RI ke-80.

Mereka menaklukkan Puncak Surono, titik tertinggi Gunung Slamet, sambil berzikir di atas awan dalam ekspedisi bertajuk "Tadabbur Jibal Slamet".

Gunung Slamet merupakan gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa. Ekspedisi ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual, perenungan, dan bentuk belajar langsung dari alam.

“Kami memilih jalur Permadi karena sesuai dengan semangat tadabbur kami: perlahan tapi penuh makna,” ujar Kyai Ali Sobirin, pimpinan tim, dilansir dari Kemenag.go.id, Kamis (13/8/2025).

Baca juga: Target 2029: Indonesia Nomor Satu Ekonomi Syariah Dunia

Perjalanan Penuh Ujian

Tim memulai pendakian pada 7 Agustus 2025 pukul 08.00 WIB dari Basecamp Permadi di kawasan Guci, Tegal. Jalur ini terkenal panjang dan menantang. Setelah 6,5 jam mendaki, mereka tiba di Pos 4.

Perjalanan dibagi menjadi empat tahap: jalur landai pemanasan menuju Pos 1, tanjakan awal menuju Pos 2, jalur relatif nyaman ke Pos 3, lalu jalur panjang dan melelahkan menuju Pos 4.

Pada Jumat dini hari pukul 03.00 WIB, pendakian menuju puncak dimulai. “Otot paha dan betis pegal, jantung berdegup kencang, dan napas tersengal,” kata Kyai Ali.

Untungnya, kekompakan tim membantu. “Ada santri yang setiap berhenti langsung memijat. Itu yang bikin saya kuat sampai puncak.”

Zikir dan Merah Putih di Puncak

Setelah 6 jam perjalanan dari Pos 4, tim tiba di Puncak Surono. Mereka disambut pemandangan kawah belerang, lembah hijau, dan lautan awan.

Awalnya, ada wacana mengibarkan bendera bajak laut "One Piece". Namun, demi menghormati pahlawan, mereka memilih Merah Putih.

“Hormat kami pada pahlawan membuat kami tetap mengibarkan bendera negara,” tegas Ali Sobirin.

Pelajaran dari Alam

Bagi para santri, mendaki adalah cara membaca ayat-ayat Allah di alam raya.

“Setiap detak jantung, rasa sakit, dan pemandangan adalah pengingat bahwa manusia lemah tanpa Allah,” ungkap Andar, santri asal Nabire, Papua Tengah.

Ekspedisi ini juga menjadi sarana melatih lima kecerdasan santri: spiritual, intelektual, mental, fisikal, dan finansial.

Baca juga: Angka Pernikahan Turun Drastis, Kemenag Ajak Kampus Perkuat Ketahanan Keluarga

“Mendaki gunung adalah strategi kami mengawal tumbuhnya dua kecerdasan itu,” kata Ali Sobirin El-Muannatsy, pengasuh pesantren sekaligus penulis buku Teknologi Ruh.

Keberhasilan ini membuktikan bahwa belajar tidak selalu di ruang kelas. Kadang, pelajaran terbaik justru datang dari setiap langkah, napas, dan keringat yang tertinggal di jalur menuju puncak tertinggi.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com