KOMPAS.com - Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh menegaskan pentingnya sinergi lintas kelembagaan dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah.
Dalam rapat Panitia Kerja Komisi VIII DPR RI yang berlangsung pada Rabu (20/8/2025) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Prof Ni'am menyatakan bahwa perbaikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah harus difokuskan pada pelayanan dan jaminan kepastian bagi jemaah haji yang wajib menunaikan ibadahnya dengan baik.
"Perlu ada jaminan penyelenggaraan haji dan umrah bagi jemaah haji sesuai dengan ketentuan keagamaan. Tugas negara mengadministrasikan urusan agamanya, sementara urusan substansi keagamaan menjadi domain lembaga keagamaan, dalam hal ini MUI. Di sinilah butuhnya sinergi kelembagaan," ujar Prof Ni'am dilansir dari MUIDigital, Kamis (21/8/2025).
Baca juga: Komnas Haji Minta RUU Haji Lebih Fleksibel, Adaptif dengan Aturan Arab Saudi
Dalam kesempatan tersebut, Prof Ni'am menjelaskan tiga paradigma hubungan antara agama dan negara, yaitu integralistik, sekularistik, dan simbiotik.
Ia menjelaskan bahwa dalam paradigma integralistik, agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, sehingga hukum agama dan hukum negara menyatu.
Sebaliknya, dalam paradigma sekularistik, terdapat pemisahan antara agama dan negara, di mana negara dipandang sebagai hubungan manusia dengan manusia, tanpa campur tangan nilai agama.
"Simbiotik; memahami bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik, suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral," kata Prof Ni'am.
Prof Ni'am juga menekankan prinsip umum penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, yang mencakup jaminan kepastian bagi orang yang wajib haji untuk melaksanakan ibadahnya dengan baik.
Ia menegaskan bahwa MUI telah mengeluarkan beberapa fatwa terkait penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, termasuk Fatwa tentang Penyembelihan Hewan Dam atas Haji Tamattu' di Luar Tanah Haram yang ditetapkan pada tahun 2011.
"Penyembelihan Dam atas haji tamattu' atau qiran dilakukan di Tanah Haram. Jika dilakukan di luar Tanah Haram hukumnya tidak sah. Daging yang telah disembelih didistribusikan untuk kepentingan fakir miskin Tanah Haram. Jika ada pertimbangan kemaslahatan yang lebih, maka dapat didistribusikan kepada fakir miskin di luar Tanah Haram," tegasnya.
Selain itu, MUI juga telah menetapkan beberapa fatwa lainnya terkait haji, termasuk Fatwa MUI tentang Haji Tamattu' dan Qiran Secara Kolektif pada tahun 2014, serta Fatwa tentang Ibadah Haji Hanya Sekali Seumur Hidup.
Dalam konteks RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, Prof Ni'am menyampaikan bahwa MUI telah mengusulkan 15 poin, termasuk kriteria istithaah bagi jemaah yang berangkat.
Ia menekankan pentingnya keterlibatan MUI dalam berbagai aspek, termasuk dalam pembinaan ibadah haji dan pelayanan manasik.
Baca juga: 3 Puisi Taufik Ismail tentang Rasulullah: Bisa Dibaca Saat Maulid Nabi
"MUI juga memberikan catatan tambahan seperti pembatasan berangkat haji; intinya memberikan kesempatan bagi yang belum berangkat dan sudah istithaah. Selain itu, kami mengusulkan agar haji furoda, masuk dalam kuota haji Indonesia," ungkapnya.
Prof Ni'am menambahkan bahwa MUI juga mengusulkan adanya penata laksanaan Dam dan konsultan ibadah, serta meminta pemerintah untuk bertanggung jawab dalam mengatur terkait badal haji.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!