KOMPAS.com-Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengusulkan agar fatwa-fatwa yang dikeluarkan lembaga tersebut dijadikan landasan etik dalam penyusunan pasal-pasal Undang-Undang Penyiaran yang baru.
Hal itu disampaikan Ketua MUI Bidang Informasi dan Komunikasi, KH Masduki Baidlowi, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi I DPR RI terkait revisi UU Penyiaran di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (25/8/2025).
Menurut Kiai Masduki, fatwa MUI yang dapat diadopsi terutama terkait Pedoman Bermuamalah di Media Sosial serta persoalan pornografi.
Baca juga: Ketua MUI Apresiasi Wacana Pembentukan Kementerian Haji dan Umrah
Ia menegaskan, penyiaran tidak boleh hanya berorientasi pada hiburan komersial, melainkan juga harus berfungsi sebagai media edukasi, penguatan akhlak, dan perekat sosial.
"Standar etik dalam P3SPS dan UU Penyiaran, baik norma yang sudah berlaku maupun yang baru, perlu diperluas penerapannya ke media digital seperti YouTube, TikTok, Instagram, dan lainnya," ujar Kiai Masduki, dilansir dari laman MUI.
Selain itu, MUI mendorong penguatan aturan larangan yang sudah ada, antara lain mengenai fitnah, hoaks, ujaran kebencian, hingga konten yang merendahkan anak.
Ia juga menekankan pentingnya perlindungan masyarakat dari dampak negatif algoritma dan ekonomi digital. Menurutnya, fenomena echo chamber bisa memperkuat radikalisme, polarisasi, intoleransi, serta ekstremisme berbasis digital, sehingga perlu dicegah melalui UU Penyiaran baru.
Lebih lanjut, Kiai Masduki menilai regulasi penyiaran juga harus memperhatikan peran algoritma yang mendorong viralitas konten berdasarkan sensasi atau emosi, bukan pada kedalaman pesan moral.
"UU Penyiaran harus mengatur tanggung jawab platform digital atas algoritma yang mempromosikan konten berbahaya seperti judi online, radikalisme, konsumerisme ekstrem melalui pinjaman online, LGBT, pornografi, hingga eksploitasi seksual," kata dia.
Baca juga: MUI Didesak Keluarkan Fatwa Haji Hanya Satu Kali
Ia menambahkan, pendekatan dalam UU Penyiaran sebaiknya tidak hanya normatif, tetapi juga fokus pada pencegahan dampak nyata dari konten digital yang tidak terkendali.
"Perlu ada amplifikasi peluang positif dari kemajuan digital, termasuk Artificial Intelligence (AI), untuk meningkatkan produktivitas, kreativitas, dan inovasi sains-teknologi. Dengan begitu, perhatian masyarakat tidak hanya terfokus pada sisi negatif," jelasnya.
MUI, lanjutnya, siap berkontribusi dalam literasi digital melalui penyusunan kurikulum literasi konten keagamaan lintas platform. Program tersebut juga mencakup sosialisasi fatwa dan tausiyah digital, standardisasi atau sertifikasi dai, ustadz, influencer, konten kreator, hingga pegiat media sosial agar sejalan dengan paradigma moderasi Islam wasathiyah.
"Program Mujahid Digital akan kami dorong untuk melawan hoaks, radikalisme, judi online, konsumerisme pinjol, serta pornografi, termasuk podcast vulgar yang mengumbar percakapan seksual secara bebas," ujarnya.
Juru Bicara Wakil Presiden ke-13 RI ini menegaskan, MUI bukan hanya lembaga normatif, melainkan juga aktor aktif dalam menjaga moralitas bangsa di era digital.
Ia menekankan, revisi UU Penyiaran harus mengintegrasikan nilai agama dan etika, memperkuat peran KPI, melibatkan MUI dalam literasi digital, serta melindungi anak dan masyarakat dari paparan konten berbahaya.
"Dengan pendekatan ini, ekosistem penyiaran multi platform akan lebih sehat, cerdas, berkelanjutan, dan mendukung ekosistem kesalehan," tegasnya.
RDPU revisi UU Penyiaran ini dipimpin Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono. Dari pihak MUI hadir Ketua Komisi Infokom MUI KH Mabroer MS, Wakil Ketua Komisi Infokom MUI Idy Muzayyad, dan Sekretaris Komisi Infokom MUI Iroh Siti Zahroh.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!