KOMPAS.com - Usianya belum genap 22 tahun ketika namanya tercatat sebagai penakluk salah satu kota paling sulit ditembus dalam sejarah dunia, Konstantinopel.
Muhammad II yang dikenal sebagai Muhammad Al-Fatih bukan hanya simbol kejayaan militer Islam, tetapi juga potret tentang bagaimana kepemimpinan muda dapat mengubah arah peradaban.
Konstantinopel selama berabad-abad dianggap mustahil ditaklukkan. Kota ini dilindungi tembok berlapis, teknologi pertahanan canggih, serta posisi geografis strategis yang memisahkan Asia dan Eropa.
Banyak panglima besar gagal menembusnya. Namun pada 29 Mei 1453, seorang sultan muda dari Kesultanan Utsmaniyah membuktikan bahwa usia bukanlah penghalang bagi visi besar.
Baca juga: Kisah Sumur Raumah: Sedekah Abadi Utsman Bin Affan Hingga Saat Ini
Muhammad Al-Fatih lahir pada 30 Maret 1432. Sejak kecil, ia tidak dibesarkan sebagai pangeran istana yang dimanjakan.
Ayahnya, Sultan Murad II, sengaja mendidiknya dengan disiplin keras. Ia dibimbing langsung oleh para ulama dan cendekiawan terbaik, tidak hanya dalam ilmu agama, tetapi juga sains, matematika, strategi militer, dan bahasa asing.
Sejak remaja, Muhammad Al-Fatih telah menguasai beberapa bahasa, termasuk Arab, Persia, Latin, dan Yunani.
Pendidikan ini membentuknya menjadi sosok pemimpin yang tidak semata mengandalkan pedang, tetapi juga akal dan perhitungan matang.
Ia tumbuh dengan keyakinan kuat terhadap nubuat Nabi Muhammad SAW tentang penaklukan Konstantinopel sebuah keyakinan yang menjadi bahan bakar mentalnya.
Baca juga: Kisah Salman Al Farisi: Perjalanan Mencari Kebenaran
Ketika naik takhta di usia sangat muda, banyak pihak meragukan kemampuannya. Namun keraguan itu justru menjadi tantangan yang memacu keberaniannya.
Alih-alih bertindak gegabah, Muhammad Al-Fatih menunjukkan bahwa keberanian sejati lahir dari persiapan yang matang.
Ia membangun meriam raksasa yang belum pernah digunakan sebelumnya, memperkuat armada laut, dan menyusun strategi yang melampaui kebiasaan militer pada masanya.
Dikutip dalam buku Sang Penakluk: Sultan Muhammad Al-Fatih karya Abu Aisyah, Salah satu langkah paling legendaris adalah memindahkan kapal-kapal perang melalui daratan, menghindari rantai besar yang menghalangi Teluk Tanduk Emas. Strategi ini mengejutkan pasukan Bizantium dan mengubah jalannya perang.
Baca juga: Kisah Unik Nabi Idris AS: Nabi Pertama yang Mengajarkan Tulisan dan Peradaban
Penaklukan Konstantinopel bukan sekadar kemenangan militer. Muhammad Al-Fatih menunjukkan sikap kepemimpinan yang matang setelah kemenangan diraih.
Ia melarang pembantaian, melindungi warga sipil, serta menjamin kebebasan beragama bagi penduduk Kristen dan Yahudi.
Gereja Hagia Sophia diubah menjadi masjid, tetapi tidak dihancurkan sebuah simbol transisi peradaban, bukan penghancuran.
Konstantinopel kemudian diubah menjadi pusat pemerintahan dan kebudayaan Islam yang kelak dikenal sebagai Istanbul.
Di bawah kepemimpinannya, kota ini berkembang sebagai pusat ilmu pengetahuan, perdagangan, dan seni, menjembatani Timur dan Barat.
Menjelang wafatnya, Muhammad Al-Fatih meninggalkan wasiat penting kepada putranya, Bayazid II.
Ia menekankan keadilan, kepedulian terhadap rakyat tanpa diskriminasi, serta pentingnya menjaga agama sebagai dasar pemerintahan.
Al-Fatih memperingatkan agar harta negara tidak digunakan untuk kemewahan dan kesenangan pribadi.
Dalam wasiatnya, Muhammad Al-Fatih juga menegaskan peran ulama sebagai benteng kekuatan negara.
Ia meminta agar para ulama dimuliakan, dilibatkan dalam urusan pemerintahan, dan dijaga dari segala bentuk penindasan. Baginya, jauhnya pemimpin dari ulama dan syariat adalah awal kehancuran sebuah kekuasaan.
Muhammad Al-Fatih wafat pada 1481 dalam perjalanan ekspedisi militer. Wafatnya menyisakan duka mendalam, tidak hanya di wilayah Islam, tetapi juga di Eropa.
Kabar kematiannya bahkan disambut dengan lonceng gereja yang dibunyikan selama beberapa hari, menandakan betapa besar pengaruhnya dalam sejarah dunia.
Ia dimakamkan di Istanbul, kota yang dahulu ditaklukkannya. Muhammad Al-Fatih meninggalkan reputasi sebagai pemimpin yang berani, tegas, religius, dan visioner. Seorang sultan muda yang tidak hanya menaklukkan kota, tetapi juga membangun peradaban.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang