KOMPAS.com - Al Thufail bin Amr Al-Dausy adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang dikenal cerdas, fasih berbicara, dan memiliki pengaruh besar di tengah kaumnya.
Ia berasal dari kabilah Daus, sebuah kabilah terkemuka di wilayah Yaman. Sebelum memeluk Islam, Al Thufail dikenal sebagai penyair ulung dan tokoh yang dihormati, sehingga pandangan dan sikapnya kerap menjadi rujukan masyarakat.
Al Thufail lahir dan besar di lingkungan kabilah Daus yang menetap di wilayah Tihamah, Yaman.
Ia hidup dalam tradisi jahiliyah yang kala itu masih mengakar kuat, termasuk penyembahan berhala.
Kedudukannya sebagai pemuka suku membuatnya terbiasa memimpin dan menjadi panutan, sekaligus menjadikannya sosok yang diperhitungkan oleh para pemimpin Quraisy di Mekkah.
Baca juga: Kisah Zaid bin Tsabit: Jalan Tekad Sang Penjaga Wahyu
Ketika Al Thufail datang ke Mekkah, para pemimpin Quraisy menyambutnya dengan penuh kehormatan.
Namun, mereka juga memperingatkannya agar tidak mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Quraisy menggambarkan Nabi sebagai sosok yang dapat memecah belah keluarga dan masyarakat. Bahkan, Al Thufail sempat menutup telinganya dengan kapas karena khawatir terpengaruh.
Akan tetapi, keteguhan hatinya runtuh ketika ia mendengar lantunan ayat suci Al Quran di dekat Kabah.
Keindahan bahasa dan maknanya membuat Al Thufail merenung. Ia akhirnya menemui Nabi Muhammad SAW, mendengarkan penjelasan Islam, dan memutuskan untuk memeluk agama tersebut dengan penuh keyakinan.
Baca juga: Kisah Utsman bin Affan: Khalifah Dermawan yang Gugur Syahid
Dikutip dari buku 65 Kisah Teladan Sahabat Nabi karya Dr. Abdurrahman Ra'fat al-Basya, setelah memeluk Islam, Al Thufail kembali ke kampung halamannya untuk berdakwah. Namun, ajakannya tidak serta-merta diterima.
Ia menghadapi penolakan, bahkan dari keluarganya sendiri. Meski demikian, Al Thufail tidak berputus asa.
Dengan kesabaran dan keteladanan, ia terus menyampaikan Islam hingga akhirnya banyak anggota kabilah Daus yang mengikuti jejaknya, termasuk Abu Hurairah, sahabat Nabi yang kelak dikenal sebagai periwayat hadis terbanyak.
Al Thufail turut terlibat dalam berbagai peristiwa penting setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Dalam perang melawan Musailamah Al-Kadzab pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Al Thufail menunjukkan keberanian luar biasa.
Dalam pertempuran itu, salah satu tangannya terpotong. Namun, luka tersebut tidak pernah ia sesali, karena dianggap sebagai bagian dari pengorbanan di jalan Allah.
Baca juga: Kisah Umar Bin Khattab, Dari Penentang Menjadi Pembela Islam
Suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab mengundang Al Thufail untuk makan bersamanya. Ketika hidangan disajikan, Al Thufail enggan mengulurkan tangan.
Ia menolak dengan halus karena merasa malu terhadap tangannya yang buntung. Umar bin Khattab menatapnya dengan penuh penghormatan dan berkata bahwa tangan yang hilang itu justru menjadi bukti kemuliaan dan pengorbanannya dalam membela Islam. Kisah ini menjadi teladan tentang keikhlasan dan cara Islam memuliakan pengorbanan.
Al Thufail bin Amr Al-Dausy wafat sebagai seorang pejuang yang teguh memegang iman. Kisah hidupnya menggambarkan perjalanan spiritual dari seorang penyair jahiliyah menjadi pembela Islam.
Keteguhan, keberanian, dan kerendahan hatinya menjadikan Al Thufail sebagai sosok teladan, bahwa hidayah dapat datang kepada siapa saja yang mau membuka hati dan berpikir jernih.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang