KOMPAS.com - Jauh sebelum diangkat menjadi nabi, Muhammad bin Abdullah telah dikenal masyarakat Makkah sebagai pribadi yang dapat dipercaya.
Gelar Al-Amin yang berarti “orang yang terpercaya”, bukanlah sebutan simbolik, melainkan hasil dari perjalanan panjang yang dibangun melalui kejujuran, konsistensi moral, dan keteguhan sikap dalam kehidupan sosial yang keras.
Muhammad tumbuh di Makkah, pusat perdagangan Jazirah Arab yang juga lekat dengan praktik penyembahan berhala, manipulasi dagang, dan konflik antarkabilah.
Sejak muda, ia telah yatim piatu dan hidup dalam keterbatasan. Namun, kondisi itu justru membentuk karakter mandiri dan empatik.
Berbeda dari kebiasaan pemuda Quraisy pada masanya, Muhammad tidak pernah dikenal terlibat dalam pesta mabuk, perjudian, atau perbuatan tercela lainnya.
Ia menjaga lisannya dari dusta dan sikapnya dari pengkhianatan. Integritas inilah yang perlahan membuatnya menonjol di tengah masyarakat Makkah.
Baca juga: Kisah Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah
Gelar Al-Amin semakin melekat ketika Muhammad terjun ke dunia perdagangan. Ia dipercaya membawa barang dagangan Khadijah binti Khuwailid ke Syam.
Dalam perjalanan itu, Muhammad menunjukkan etika dagang yang jarang ditemui, jujur dalam timbangan, terbuka dalam transaksi, dan menepati janji.
Keuntungan yang diperoleh bukan hanya materi, tetapi juga reputasi. Khadijah mendengar kesaksian tentang kejujuran Muhammad dari Maisarah, pembantunya.
Kesaksian itulah yang kemudian mengantarkan pada pernikahan mereka. Dalam konteks masyarakat Arab kala itu, kepercayaan adalah modal sosial paling berharga, dan Muhammad memilikinya.
Dikutip dari buku Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haekal, salah satu peristiwa penting yang mengukuhkan gelar Al-Amin terjadi saat renovasi Ka’bah. Perselisihan antarkabilah pecah ketika tiba pada persoalan siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad. Konflik hampir berubah menjadi pertumpahan darah.
Muhammad yang saat itu berusia sekitar 35 tahun, dipercaya menjadi penengah. Solusi yang ia tawarkan sederhana namun adil, Hajar Aswad diletakkan di atas kain, lalu setiap pemimpin kabilah memegang ujung kain tersebut.
Muhammad sendiri yang meletakkan batu itu pada tempatnya. Keputusan ini diterima semua pihak, menegaskan posisi Muhammad sebagai sosok yang dipercaya lintas kabilah.
Baca juga: Kisah Nabi Sulaiman AS: Pemimpin Bijak dengan Karunia Besar
Gelar Al-Amin bukan hanya lahir dari satu peristiwa, tetapi dari konsistensi sikap dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Makkah menitipkan harta mereka kepada Muhammad, bahkan setelah ia mulai berdakwah dan mendapat penentangan.
Kepercayaan itu menunjukkan bahwa perbedaan keyakinan tidak menghapus reputasi moralnya.
Bahkan ketika hijrah ke Madinah, Muhammad masih meninggalkan Ali bin Abi Thalib di Makkah untuk mengembalikan titipan harta orang-orang Quraisy. Sebuah ironi yang menegaskan, mereka memusuhinya, tetapi tetap mempercayainya.
Baca juga: Kisah Nabi Ayub AS, Ujian Panjang dan Doa Penuh Keyakinan
Gelar Al-Amin menjadi fondasi penting dalam dakwah Islam. Kepercayaan publik membuat pesan yang dibawa Muhammad tidak lahir dari ruang hampa.
Integritas personal mendahului otoritas kenabian. Dalam konteks ini, Al-Amin bukan sekadar julukan, melainkan legitimasi moral yang lahir dari praktik hidup nyata.
Kisah ini menunjukkan bahwa perjuangan Nabi Muhammad tidak hanya berlangsung di medan dakwah, tetapi juga dalam keseharian yang penuh ujian etika.
Kejujuran, amanah, dan konsistensi moral menjadi jalan sunyi yang mengantarkannya pada kepercayaan umat jauh sebelum wahyu pertama turun di Gua Hira.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang