KOMPAS.com - Jeruji besi menjadi lanskap keseharian Nabi Yusuf AS. Sunyi, gelap, dan jauh dari hiruk-pikuk istana yang pernah mengenalnya.
Di ruang sempit itulah Yusuf diasingkan, bukan karena kejahatan, melainkan karena sebuah sistem sosial yang rapuh, timpang, dan tunduk pada kepentingan penguasa.
Penjara itu berdiri sebagai simbol kekuasaan yang gagal membangun keadilan. Tanpa pengadilan, tanpa pembelaan, Yusuf dijebloskan demi menjaga kehormatan elite istana.
Ia menjadi korban dari tatanan sosial yang hanya mengakui kebenaran sejauh selaras dengan kepentingan penguasa.
Dalam situasi semacam itu, hidup di luar jeruji justru terasa lebih mengancam daripada mendekam di baliknya.
Namun Yusuf bukan sekadar narapidana. Ia adalah seorang nabi dan penjara tidak mematikan panggilan kenabiannya.
Baca juga: Kisah Nabi Yusuf, Ketika Iman Mengalahkan Nafsu dan Kekuasaan
Al-Qur’an merekam bagaimana Yusuf menjalankan dakwahnya justru di ruang paling terpinggirkan yaitu penjara.
Kepada dua sesama tahanan, Yusuf tidak memulai dengan vonis atau kecaman, melainkan dengan pertanyaan reflektif yang menggugah kesadaran.
يٰصَاحِبَيِ السِّجْنِ ءَاَرْبَابٌ مُّتَفَرِّقُوْنَ خَيْرٌ اَمِ اللّٰهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُۗ
Yā ṣāḥibayis-sijni a'arbābum mutafarriqūna khairun amillāhul-wāḥidul-qahhār(u).
Artinya: "Wahai dua penghuni penjara, manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa?"
Gaya dakwah Yusuf tampak santun sekaligus tajam. Ia tidak menyerang keyakinan lawan secara emosional, tetapi membedahnya secara rasional.
Kepercayaan pada banyak tuhan, menurut Yusuf, menyimpan kontradiksi mendasar, jika kekuasaan tersebar, siapa yang benar-benar berdaulat? Keragaman adalah sifat makhluk, bukan Sang Pencipta.
Di titik ini, dakwah Yusuf menjelma sebagai panduan antara refleksi ketuhanan dan konsekuensi sosial.
Ia tidak berhenti pada keyakinan abstrak, tetapi menunjukkan bagaimana tauhid adalah fondasi tatanan yang stabil dan adil.
Jauh sebelum Paulo Freire mengingatkan bahaya “verbalisme” tanpa tindakan dan “aktivisme” tanpa refleksi, Yusuf telah mempraktikkan keduanya secara seimbang.
Baca juga: Kisah Nabi Syu’aib dan Bangsa Madyan, Ketika Kecurangan Menjadi Budaya
Meski teguh, Yusuf tetap manusia. Ia rindu kebebasan. Ketika salah seorang tahanan diprediksi akan selamat, Yusuf menitipkan harapan sederhana yaitu, agar namanya disebut di hadapan raja.
Al-Qur’an mencatat momen ini dengan jujur dan juga tentu perlakuan manusia yang membuat Yusuf kembali terkurung bertahun-tahun lamanya.
Penjara kembali menjadi ruang kesabaran. Yusuf belajar bahwa kepercayaan kepada manusia sering kali rapuh, sementara kebergantungan kepada Allah adalah sandaran yang kokoh. Ia menunggu, bukan dengan kepasrahan kosong, melainkan dengan keteguhan iman.
Dikutip dari buku Kisah-kisah Pembebasan dalam Qur'an karya Eko Prasetyo, titik balik itu datang dari mimpi seorang raja. Tujuh sapi gemuk dimakan tujuh sapi kurus. Tujuh bulir hijau berdampingan dengan tujuh bulir kering. Para pembesar istana kebingungan. Tafsir mereka buntu.
Yusuf, dari balik jeruji, menawarkan pembacaan yang melampaui simbol. Ia membaca mimpi itu sebagai peringatan krisis pangan dan menawarkan solusi struktural, produksi, penyimpanan, dan distribusi yang disiplin selama masa surplus untuk menghadapi masa sulit.
Tafsir ini bukan sihir, melainkan analisis sosial yang tajam. Yusuf berbicara tentang ekonomi politik jauh sebelum istilah itu dikenal.
Cadangan pangan ditempatkan sebagai aset strategis negara. Sebuah pelajaran yang tetap relevan di tengah krisis global hari ini.
Baca juga: Kisah Nabi Sulaiman AS: Pemimpin Bijak dengan Karunia Besar
Ketika raja hendak membebaskannya, Yusuf tidak serta-merta keluar. Ia mengajukan satu syarat yakni, kebenaran harus ditegakkan. Nama baiknya harus dipulihkan. Ia menuntut keadilan, bukan sekadar kebebasan.
Sikap ini bahkan membuat Nabi Muhammad SAW kagum. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah menyebut kesabaran dan keteguhan Yusuf sebagai teladan luar biasa, seseorang yang tidak menukar kebenaran dengan pintu keluar yang mudah.
Di sinilah Yusuf tampil sebagai figur moral yang utuh. Ia memahami bahwa kebebasan tanpa keadilan hanya akan melanggengkan penindasan.
Penjara baginya bukan sekadar ruang fisik, melainkan cermin sistem sosial yang perlu diluruskan.
Kebenaran akhirnya terungkap. Yusuf dibebaskan dan diangkat memegang jabatan strategis. Kekuasaan yang diraihnya bukan hasil ambisi, melainkan amanah dari perjalanan panjang penuh ujian.
Pengalaman sebagai korban ketidakadilan membentuk cara Yusuf berkuasa. Ia memimpin dengan semangat pelayanan, memastikan distribusi pangan berjalan adil, dan menyelamatkan Mesir dari krisis. Kekuasaan baginya bukan privilege, melainkan tanggung jawab moral.
Kisah Yusuf menegaskan satu pelajaran penting di mana iman yang sejati tidak memisahkan kesalehan pribadi dari keberanian sosial. Ia tumbuh melalui ujian, kesangsian, dan keteguhan menjaga prinsip.
Di balik jeruji penjara, Yusuf membuktikan bahwa keadilan bisa dilahirkan dari ruang paling sunyi asal iman selalu dijaga, akal dipakai, dan kekuasaan tidak dipisahkan dari tanggung jawab.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang