KOMPAS.com - Selama hidup, Nabi Muhammad SAW mempunyai 11 orang istri. Tentu saja pernikahan Nabi Muhammad SAW ini bukan didasari atas nafsu seperti dituduhkan orang-orang yang tidak suka.
Pernikahan Nabi Muhammad SAW terjadi karena bimbingan wahyu untuk mewujudkan hikmah-hikmah tertentu.
Baca juga: Mengenal Putra dan Putri Rasulullah Muhammad SAW
Beberapa hikmah pernikahan Nabi Muhammad SAW antara lain:
1. Pernikahan didasarkan pada rasa sosial untuk mengayomi para janda yang ditinggal mati suaminya, misalnya pernikahan dengan Saudah binti Zam’ah, Zainab bin Khuzaimah, dan Ummu Salamah.
2. Untuk melegalisasi hukum Allah tentang status anak angkat, yaitu Ketika Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menikahi Zainab binti Jahsy yang tak lain adalah mantan istri anak angkatnya, Zaid bin Haritsah. Peristiwa ini diabadikan di dalam Al Quran Surat Al Ahzab: 4-5.
3. Untuk mendokumentasikan sunnah-sunnah atau ajaran Islam yang masuk ke ranah pribadi atau tidak mungkin disaksikan secara lengkap oleh sahabat-sahabat lainnya. Selain itu, adanya saksi dari beberapa Istri Nabi Muhammad SAW dapat menguatkan riwayat-riwayat tersebut.
Berikut profil istri-istri Nabi Muhammad SAW
Khadijah merupakan seorang janda dan saudagar kaya raya. Sebelum menikah dengan Rasulullah, Khadijah pernah menikah dengan Abi Halah bin Zurarah dan dikaruniai dua orang anak bernama Halah dan Hindun.
Setelah Abi Halah meninggal, Khadijah menikah lagi dengan Utaiq bin ‘Abid. Pernikahan kedua ini tidak bertahan lama, mereka pun bercerai.
Khadijah menikah untuk ketiga kalinya dengan Rasulullah hingga akhir hayatnya. Selama hidup, Khadijah turut berjuang dengan harta dan jiwanya mendampingi suami tercinta dan menguatkan perjuangannya.
Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah pernah menyampaikan bahwa Khadijah merupakan wanita terbaik di jamannya seperti halnya Maryam di masanya.
Baca juga: Kisah Pasukan Bergajah Menjelang Lahirnya Rasulullah SAW
Aisyah merupakan putri Abu Bakar Ash Shidiq. Lahir pada tahun kelima Kenabian. Menikah dengan Rasulullah saat usia 6 tahun. Pasca menikah, Rasulullah tidak langsung tinggal serumah dengan Aisyah.
Aisyah baru tinggal serumah dengan Rasulullah pada usia 9 tahun saat Rasulullah sudah berhijrah ke Madinah. Bahkan walimahnya juga baru diadakan di Madinah. Ada yang meriwayatkan pada tahun 1 Hijriah dan ada pula yang meriwayatkan tahun 2 Hijriah setelah perang Badar.
Dalam penuturannya, Aisyah menuturkan runtutan peristiwa saat resmi hidup bersama Rasulullah: “Ketika kami tiba di Madinah, aku terserang penyakit demam selama sebulan setelah itu rambutku tumbuh lebat sepanjang pundak.
Kemudian Ummu Ruman datang menemuiku waktu aku sedang bermain ayunan bersama beberapa orang teman perempuanku. Ia berteriak memanggilku, lalu aku mendatanginya sedangkan aku tidak mengetahui apa yang diinginkan dariku.
Kemudian ia segera menarik tanganku dan dituntun sampai di muka pintu. Aku berkata: Huh.. huh.. hingga nafasku lega. Kemudian Ummu Ruman dan aku memasuki sebuah rumah yang di sana telah banyak wanita Anshar.
Mereka mengucapkan selamat dan berkah atas nasib yang baik. Ummu Ruman menyerahkanku kepada mereka lalu mereka memandikanku dan meriasku, dan tidak ada yang membuatku terkejut kecuali ketika Rasulullah SAW datang dan mereka meyerahkanku kepada beliau.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Pernikahan Rasulullah dengan Aisyah kerap menjadi bahan untuk menyudutkan Rasulullah, sebab Aisyah dianggap masih di bawah umur saat dinikahi Rasulullah. Namun dalam konteks masa itu, sebenarnya hal ini tidak menjadi masalah.
Selain itu, pernikahan Rasulullah dengan Aisyah membawa banyak hikmah, salah satunya banyak ajaran Islam yang diriwayatkan melalui Aisyah.
Aisyah menjadi satu-satunya istri Rasulullah yang dinikahi dalam keadaan perawan, sementara istri-istri Rasulullah lainnya dinikahi Rasulullah dalam status sudah menjadi janda. Dari pernikahan ini, tidak menghasilkan anak.
Sebagai seseorang yang masih muda saat menikah dengan Rasulullah, Aisyah sangat kuat hafalannya sehingga banyak meriwayatkan hadits. Jumlah hadits yang diriwayatkan Aisyah mencapai lebih dari 2000 hadits.
Baca juga: Kisah Kelahiran Nabi Muhammad SAW
Selama menikah dengan Rasulullah, Aisyah pernah mendapat ujian yang cukup berat, yaitu dituduh berselingkuh dengan Shafwan bin Mu’athal. Kisah ini bermula saat Aisyah turut dalam sebuah perjalanan perang bersama Rasulullah.
Sebagaimana lumrahnya waktu itu, Aisyah didudukkan dalam sebuah tandu di atas punggung unta. Saat selesai perang, Aisyah keluar dari tandu untuk mencari kalungnya yang jatuh.
Saat itu rombongan tidak tahu kalau Aisyah berada di luar tandu. Mereka segera menaikkan tandu ke unta dan berangkat menuju Madinah.
Mendapati rombongan sudah berangkat, Aisyah duduk menunggu hingga tertidur sampai keesokan harinya. Aisyah terbangun Ketika mendengar suara Shafwan yang kebetulan tertinggal dari rombongan.
Shafwan lantas meminta Aisyah menaiki untanya dan menuntunnya menyusul pasukan yang lebih dulu berangkat. Kejadian ini kemudian dimanfaatkan kaum munafik dibawah pimpinan Abdullah bin Ubay untuk memfinah Aisyah. Ia menuduh Aisyah telah berselingkuh.
Tuduhan itu membuat Aisyah jatuh sakit karena sangat sedih mendengarnya. Rasulullah pun belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan karena belum ada wahyu yang turun menjelaskan masalah tersebut.
Rasulullah sampai-sampai memanggil Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid untuk membicarakan masalah perceraian. Namun keduanya turut menguatkan bahwa Aisyah adalah wanita yang baik dan tidak mungkin melakukan tindakan tercela tersebut.
Hampir sebulan lebih tidak ada jawaban mengenai masalah perselingkuhan tersebut hingga Allah akhirnya menurunkan Surat An Nur ayat 11-20 yang menjelaskan tentang duduk masalah tersebut. Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Aisyah tidak melakukan perselingkuhan sebagaimana yang dituduhkan kepadanya.
Saat Rasulullah wafat, Aisyah masih berusia 18 tahun. Beliau hidup hingga tahun 58 Hijriah atau meninggal di usia 66 tahun. Sepeninggal Rasulullah, Aisyah sempat terlibat perselisihan dengan Ali bin Abi Thalib di perang Jamal.
Baca juga: Kisah Penyusuan Nabi Muhammad SAW kepada Halimah Sa’diyah
Saat Khadijah meninggal, Rasulullah merasa sedih dan kesepian. Pada suatu hari, Khaulah melintas di hadapan Rasulullah dan menanyakan apakah Rasulullah ingin menikah lagi.
Khaulah kemudian memberi pertimbangan untuk menikahi Aisyah dan Saudah binti Zum’ah.
Saudah merupakan sosok wanita yang mula-mula masuk Islam bersama suaminya, Sakran bin Amr.
Keduanya turut hijrah ke Habasyah. Sayangnya, Sakran meninggal saat di Habasyah sehingga Saudah menjadi janda.
Rasulullah sepakat dengan usulan Khaulah dan menikahi Aisyah dan Saudah dalam waktu yang tak berselang lama. Bedanya, Rasulullah langsung tinggal satu rumah dengan Saudah pasca menikah.
Saudah merupakan wanita yang berhati besar. Ia rela menyerahkan jatah malamnya untuk Aisyah saat berada di Madinah. Meskipun demikian, Saudah tetap setia mendampingi Rasulullah. Beliau meninggal di masa Kekhalifahan Umar bin Khattab.
Baca juga: Kisah Hidup Nabi Muhammad SAW: Masa Pengasuhan Ibu, Kakek, dan Paman
Hafsah merupakan putri Umar bin Khattab. Pada awalnya Hafsah menikah dengan Khunaiz bin Hudzaifah. Sayangnya pernikahan tersebut harus terpisahkan oleh maut. Khunaiz meninggal dalam perang Uhud.
Umar bin Khattab kemudian berusaha mencarikan suami untuk putrinya tersebut. Pada awalnya Umar menawarkan Hafsah ke Abu Bakar, namun ditolak. Demikian pula saat ditawarkan kepada Utsman bin Affan.
Umar merasa bersedih karena tawarannya ditolak oleh dua sahabat mulia. Kesedihan Umar berubah menjadi sukacita tatkala mendengar sabda Rasulullah:
“Hafsah akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Utsman. Dan Utsman akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Hafsah. Umar gembira dengan kabar ini, dia segera kembali ke rumah untuk menyampaikan kabar ini kepada putrinya”.
Dalam perjalanan pulang, Umar bertemu dengan Abu Bakar. Melihat rona kebahagiaan di wajah Umar, Abu Bakar akhirnya menyatakan apa yang sesungguhnya terjadi: “Wahai Umar, janganlah kamu menuduhku yang tidak-tidak. Sebelum kamu menawarkan kepadaku. Aku pernah dengar Rasulullah menyebut nama Hafsah. Namun aku tidak ingin bercerita hal ini kepada orang lain karena tidak ingin membuka rahasia Rasulullah. Jika saja Rasulullah tidak menikahinya, niscaya aku akan menikahinya.”
Hafsah dikenal sebagai perempuan yang mempunyai temperamen keras seperti halnya sang ayah. Hal ini sempat membuatnya berselisih dengan Aisyah hingga Umar harus turun tangan menasehati putrinya tersebut. Bahkan Hafsah pernah diceraikan Rasulullah karena tidak bisa menjaga rahasia.
Alkisah, suatu hari Rasulullah sedang Bersama Maria al Qibityah di rumah Hafsah. Hal tersebut membuat Hafsah cemburu dan marah. Rasulullah kemudian berjanji tidak akan menggauli Maria Al Qibtiyah lagi dan meminta Hafsah untuk tidak menceritakan kejadian tersebut.
Sayangnya, Hafsah tidak bisa menjaga rahasia dan menceritakan apa yang terjadi kepada Aisyah. Tak pelak Rasulullah murka dan menceraikan Hafsah.
Perceraian tersebut tidak berlangsung lama, atas perintah Allah, Rasulullah Kembali rujuk dengan Hafsah. Peristiwa di atas menjadi latar belakang turunnya Q.S. At Tahrim ayat 1-5.
Hafsah merupakan istri Rasulullah yang dipercaya untuk menyimpan Al Quran yang dibukukan di masa Abu Bakar hingga jaman Umar bin Khattab. Al Quran inilah yang nantinya menjadi dasar untuk memperbanyak Al Quran di masa Utsman bin Affan.
Baca juga: Kisah Kehidupan Masa Remaja Nabi Muhammad SAW
Ummu Salamah bernama asli Hindun binti Abu Umayyah. Pada awalnya Ummu Salamah menikah dengan Abu Salamah. Pasangan ini termasuk yang turut berhijrah ke Habasyah dan Madinah.
Sayangnya, pada perang Uhud, Abu Salamah termasuk yang gugur sehingga Ummu Salamah harus hidup menjanda bersama anaknya.
Ummu Salamah dikenal sebagai wanita yang cantik sebagaimana diceritakan oleh Aisyah. Pasca meninggalnya sang suami, Abu Bakar dan Umar bin Khattab sempat melamar Ummu Salamah, namun ditolak.
Pada akhirnya Rasulullah yang melamar Ummu Salamah. Lamaran tersebut tidak langsung diterima. Ummu Salamah menyampaikan kondisinya: “Wahai Rasulullah, bukanlah saya tidak mau menikah denganmu akan tetapi kondisi dan pribadi saya yang seperti ini, saya pencemburu berat, saya khawatir hal itu akan menjadi dosa buat saya. Kedua, saya sudah tua. Ketiga, saya punya anak”.
Rasulullah tidak mempermasalahkan kondisi tersebut serta berdoa agar rasa cemburu berat itu dihilangkan. Ummu Salamah termasuk istri Rasulullah yang meriwayatkan beberapa hadits, totalnya mencapai lebih dari 300 hadits.
Baca juga: Kisah Pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Khadijah Binti Khuwailid
Juwairiyah memiliki nama asli Barrah binti Harits. Juwairiyah berasal dari Bani Mustalaq yang pada awalnya memusuhi Islam. Ayahnya adalah pemimpin Bani Mustalaq bernama Harits bin Abi Dhirar.
Bani Mustalaq berhasil dikalahkan kaum muslimin hingga semua menjadi tawanan perang. Juwairiyah turut menjadi tawanan perang dan menjadi hak Tsabit bin Qais. Rasulullah kemudian menebus Juwairiyah dengan 9 keping emas dan menikahinya.
Pernikahan tersebut membawa dampak besar, kaum Bani Mustalaq akhirnya memeluk Islam dengan adanya pernikahan tersebut. Lebih dari 100 orang kaum Bani Mustalaq bersyahadat dengan adanya pernikahan tersebut.
Zainab binti Jahsy merupakan seorang wanita terhormat. Rasulullah menikahkan Zanab dengan anak angkatnya, Zaid bin Haritsah. Pada awalnya Zainab menolak karena Zaid dianggap tidak sederajat dengannya dalam hal nasab.
Zaid merupakan mantan budak yang dimerdekakan Rasulullah, sedangkan Zainab berasal dari keluarga terhormat. Namun karena perintah Rasulullah, Zainab tidak bisa menolaknya. Allah menegur penolakan tersebut dalam Surat Al Ahzab ayat 33:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S. Al Ahzab: 36)
Sayangnya, pernikahan tersebut tidak berjalan dengan mulus. Zainab belum bisa menanggalkan egonya hingga rumah tangga keduanya tidak berjalan harmonis. Zaid merasa tersiksa dengan pernikahan tersebut hingga akhirnya berakhir dengan perceraian.
Baca juga: Kisah Pengangkatan Menjadi Nabi dan Turunnya Wahyu Pertama
Pasca bercerai, Allah memerintahkan Rasulullah untuk menikahi Zainab sebagaimana tertera dalam Q.S. Al Ahzab ayat 37. Perintah tersebut awalnya berat dilaksanakan oleh Rasulullah karena Zainab adalah mantan istri anak angkatnya.
Hal ini juga menimbulkan fitnah dari kaum munafiq. Rasulullah melarang untuk menikahi mantan istri anaknya, tetapi justru Rasulullah mempraktekkannya. Fitnah tersebut kemudian ditepis dengan ayat Al Quran yang membedakan kedudukan anak kandung dengan anak angkat.
Zainab merupakan seorang wanita yang rajin beribadah serta gemar bersedekah dan menolong siapa saja yang membutuhkan. Suatu hari, Rasulullah pernah bersabda kepada istri-istrinya bahwa diantara mereka yang akan menyusulnya terlebih dahulu adalah yang paling panjang tangannya.
Sepeninggal Rasulullah, para istri Beliau sering mengukur panjang tangan mereka. Namun setelah Zainab meninggal, mereka baru sadar bahwa yang dimaksud panjang tangan oleh Rasulullah adalah orang yang suka membantu orang lain.
Perilaku tersebut ada pada Zainab binti Jahsy. Beliau merupakan istri Rasulullah yang wafat terlebih dahulu menyusul Rasulullah.
Baca juga: Kisah Dakwah Rasulullah Muhammad SAW di Awal Penyebaran Agama Islam
Zanab bin Khuzaimah merupakan seorang janda. Suaminya gugur saat perang Badar. Rasulullah menikahinya dengan mahar sebesar 400 dirham. Rasulullah menikah dengan Zainab bin Khuzaimah pada bulan Ramadhan tahun 3 Hijriah.
Pernikahan ini tidak berlangsung lama, 8 bulan setelah menikah, Zainab meninggal. Ia merupakan istri Rasulullah yang pertama kali dimakamkan di Baqi’.
Semasa hidup, Zainab bin Khuzaimah terkenal sebagai orang yang dermawan dan suka menolong orang-orang miskin. Oleh karena itu, Zainab bin Khuzaimah dijuluki sebagai Ummul Masakin atau ibunya orang-orang miskin.
Ummu Habibah mempunyai nama asli Ramlah. Ia merupakan putri dari tokoh Quraisy Abu Sufyan. Suami pertamanya bernama Ubaidillah bin Jahsy.
Keduanya turut berhijrah ke Habasyah. Sayangnya, Ubaidillah bin Jahsy berpindah agama saat di Habasyah dan lebih memilih memeluk agama Nasrani.
Pasca bercerai karena perbedaan keyakinan, Ummu Habibah mendapat lamaran dari Rasulullah. Saat itu Ummu Habibah masih tinggal di Habasyah.
Pernikahan berlangsung tanpa kehadiran Rasulullah. Saat itu Rasulullah diwakili oleh Raja Najasyi yang sudah masuk Islam, sedangkan wali Ummu Habibah adalah Khalid bin Said.
Raja Najasyi menyerahkan uang sebesar 400 dinar dan berbagai perhiasan dari perak. Pernikahan terjadi pada tahun 6 Hijriah. Setahun kemudian, Ummu Habibah meninggalkan Habasyah menuju ke Madinah untuk hidup bersama Rasulullah.
Ummu Habibah menemani Rasulullah selama empat tahun sebelum Beliau wafat.
Baca juga: Kisah Masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab
Sofiyyah merupakan wanita keturunan Yahudi dari Bani Nadhir. Sofiyyah pada awalnya merupakan budak rampasan perang saat perang Khaibar. Rasulullah menikahinya dengan mahar pembebasannya.
Pada malam pertama bersama Rasulullah, ada kejadian unik. Sahabat Abu Ayyub Al Anshari ternyata berjaga semalaman di luar rumah Rasulullah dengan pedang terhunus. Ia khawatir Sofiyyah akan mencelakai Rasulullah sebagaimana Rasulullah pernah diracun oleh seorang wanita Yahudi.
Sebagai keturunan Yahudi, Sofiyyah kerap mendapat perlakuan yang berbeda. Namun semua dijalaninya dengan penuh kesabaran. Rasulullah menenangkannya dengan menyatakan bahwa Sofiyyah adalah wanita terhormat lantaran suami dan kakeknya adalah Nabi. Nasab Sofiyyah sampai kepada Nabi Harun.
Sepeninggal Rasulullah, Sofiyyah masih mendapat perlakukan yang tidak menyenangkan. Pembantunya pernah memfitnahnya dengan mengadukan kepada Khalifah Umar bin Khattab bahwa Beliau masih melakukan tradisi Yahudi, yaitu menghormati hari Sabat atau Sabtu dan berhubungan dengan orang-orang Yahudi.
Hal ini membuat Khalifah meminta penjelasan kepada Sofiyyah. Ummul Mukminin ini kemudian menjelaskan bahwa ia berhubungan dengan orang-orang Yahudi untuk menyambung tali silaturahmi karena masih ada kerabatnya. Sedangkan penghormatan terhadap hari sabtu adalah fitnah.
Perlakuan sang budak yang telah memfitnah Beliau ternyata dibalas dengan kebaikan. Sofiyyah membebaskan budaknya akibat kejadian tersebut. Sungguh hati yang mulia, dimana keburukan dibalas dengan kebaikan.
Baca juga: 18 Bacaan Sholawat Nabi yang Bisa Dibaca Saat Maulid Nabi
Maimunah bin Harits bernama asli Barrah. Beliau adalah saudara seibu dari Zainab bin Khuzaimah, istri Rasulullah lainnya yang terlebih dahulu wafat. Maimunah sebelumnya menikah dengan Abi Rahm bin Abdul Uzza.
Pasca perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah beserta rombongan melakukan umrah selama 3 hari. Maimunah yang saat itu masih tinggal di Mekkah menemui Ummu Fadhl yang tak lain istri Abbas bin Abdul Muthalib untuk mengungkapkan keinginannya menjadi istri Rasulullah.
Keinginan tersebut ternyata disambut baik oleh Rasulullah. Pernikahan pun diadakan. Karena waktu yang terbatas, walimah baru diadakan di luar Mekkah, tepatnya di Sarof yang letaknya 5 km dari Masjidil Haram. Saat meninggal, Maimunah berwasiat agar dimakamkan di Sarof.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini