KOMPAS.com - Kecerdasan buatan (AI) memang bisa menjawab cepat dan mengolah data dalam hitungan detik. Tapi, bisakah ia menggantikan peran ulama atau guru? Jawabannya tegas: tidak.
Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, mengatakan AI hanyalah mesin tanpa akal dan rasa. Dalam forum internasional bertema Fatwa di Era Kecerdasan Buatan di Kairo, Mesir (12–13 Agustus 2025), ia mengingatkan bahwa fatwa tidak bisa diambil dari algoritma.
“Meskipun artificial intelligence secerdas apa pun, ia tetap mesin yang tak berakal dan tak punya rasa. Jangan pernah menganggapnya mujtahid atau meminta fatwa keagamaan padanya,” ujarnya dilansir dari MUIDigital, Rabu (13/8/2025).
Baca juga: Ketua MUI KH Cholil Nafis: AI Tak Bisa Gantikan Ulama dalam Fatwa
Menurutnya, ulama tidak hanya menyampaikan dalil, tapi juga memahami konteks, membaca situasi, dan memikul tanggung jawab di hadapan Allah SWT. Semua itu tak bisa diwakilkan kepada teknologi.
Pandangan senada datang dari dunia pendidikan. Founder Singapore Intercultural School (SIS), Jaspal Sidhu, mengingatkan bahwa teknologi secanggih apa pun tetap tak mampu menggantikan sentuhan manusia di ruang kelas.
“Sebelum kita mendigitalisasi kelas, kita harus memanusiakannya,” kata Sidhu, dalam keterangan tertulis, Rabu (13/8/2025).
Pernyataan Sidhu ini menanggapi masifnya digitalisasi sekolah di Indonesia, termasuk proyek senilai Rp 4,8 triliun untuk laptop, tablet, dan internet di 12.000 sekolah.
Sidhu mencontohkan, tanpa interaksi emosional, kelas digital bisa seperti keluarga yang duduk bersama di meja makan tapi sibuk dengan ponselnya masing-masing.
“Latih gurunya dulu—bukan hanya soal teknologi, tapi seni membangun hubungan, mengelola kelas, dan memotivasi siswa,” ujarnya.
Menurut Sidhu, Indonesia masih tertinggal dalam kualitas pendidikan, terlihat dari hasil PISA 2022 yang menempatkan Indonesia di peringkat 69 dari 81 negara.
Jaspal Sidhu menegaskan masalah utama bukan technology gap melainkan skills gap pada guru.
Guru perlu membangun koneksi emosional dan pedagogis dengan siswa sebelum memanfaatkan teknologi.
Melalui EFFECTOR Model (ketulusan, humor, ketegasan, antusiasme, konsistensi, ketepatan waktu, keterbukaan pikiran, dan berpikir berbasis riset) yang dikembangkan SIS, guru dapat menciptakan kelas yang hidup dan interaktif. Tanpa itu, teknologi justru bisa menciptakan jarak.
Sidhu mengingatkan bahwa pelatihan guru harus menjadi prioritas dalam roadmap pendidikan digital, khususnya di daerah rural yang minim konektivitas dan sumber daya.
Baca juga: Respons Sri Mulyani, Ini Penjelasan BWI tentang Pajak, Zakat dan Wakaf
Pendidikan berkualitas, menurutnya, lahir dari interaksi tulus dan empati antara guru dan siswa, bukan semata dari perangkat digital.
Oleh karena itu, baik di mimbar dakwah maupun di papan tulis, satu hal jelas: teknologi hanyalah alat. Keputusan bijak dan sentuhan kemanusiaan tetap ada di tangan manusia.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!