Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

AI Boleh Canggih, tapi Tak Bisa Gantikan Ulama dan Guru

Kompas.com, 14 Agustus 2025, 00:10 WIB
Farid Assifa

Editor

Sumber MUIDigital

KOMPAS.com - Kecerdasan buatan (AI) memang bisa menjawab cepat dan mengolah data dalam hitungan detik. Tapi, bisakah ia menggantikan peran ulama atau guru? Jawabannya tegas: tidak.

Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, mengatakan AI hanyalah mesin tanpa akal dan rasa. Dalam forum internasional bertema  Fatwa di Era Kecerdasan Buatan di Kairo, Mesir (12–13 Agustus 2025), ia mengingatkan bahwa fatwa tidak bisa diambil dari algoritma.

“Meskipun artificial intelligence secerdas apa pun, ia tetap mesin yang tak berakal dan tak punya rasa. Jangan pernah menganggapnya mujtahid atau meminta fatwa keagamaan padanya,” ujarnya dilansir dari MUIDigital, Rabu (13/8/2025).

Baca juga: Ketua MUI KH Cholil Nafis: AI Tak Bisa Gantikan Ulama dalam Fatwa

Menurutnya, ulama tidak hanya menyampaikan dalil, tapi juga memahami konteks, membaca situasi, dan memikul tanggung jawab di hadapan Allah SWT. Semua itu tak bisa diwakilkan kepada teknologi.

AI Tak Bisa Gantikan Guru

Pandangan senada datang dari dunia pendidikan. Founder Singapore Intercultural School (SIS), Jaspal Sidhu, mengingatkan bahwa teknologi secanggih apa pun tetap tak mampu menggantikan sentuhan manusia di ruang kelas.

“Sebelum kita mendigitalisasi kelas, kita harus memanusiakannya,” kata Sidhu, dalam keterangan tertulis, Rabu (13/8/2025).

Pernyataan Sidhu ini menanggapi masifnya digitalisasi sekolah di Indonesia, termasuk proyek senilai Rp 4,8 triliun untuk laptop, tablet, dan internet di 12.000 sekolah.

Sidhu mencontohkan, tanpa interaksi emosional, kelas digital bisa seperti keluarga yang duduk bersama di meja makan tapi sibuk dengan ponselnya masing-masing.

“Latih gurunya dulu—bukan hanya soal teknologi, tapi seni membangun hubungan, mengelola kelas, dan memotivasi siswa,” ujarnya.

Menurut Sidhu, Indonesia masih tertinggal dalam kualitas pendidikan, terlihat dari hasil PISA 2022 yang menempatkan Indonesia di peringkat 69 dari 81 negara.

Jaspal Sidhu menegaskan masalah utama bukan technology gap melainkan skills gap pada guru.

Guru perlu membangun koneksi emosional dan pedagogis dengan siswa sebelum memanfaatkan teknologi.

Melalui EFFECTOR Model (ketulusan, humor, ketegasan, antusiasme, konsistensi, ketepatan waktu, keterbukaan pikiran, dan berpikir berbasis riset) yang dikembangkan SIS, guru dapat menciptakan kelas yang hidup dan interaktif. Tanpa itu, teknologi justru bisa menciptakan jarak.

“Ketika guru memiliki atribut EFFECTOR, teknologi menjadi alat penguat interaksi dan kreativitas di kelas. Kelas berubah menjadi komunitas belajar yang hidup. Tanpa itu, perangkat digital justru bisa menciptakan jarak,” jelasnya.

Sidhu mengingatkan bahwa pelatihan guru harus menjadi prioritas dalam roadmap pendidikan digital, khususnya di daerah rural yang minim konektivitas dan sumber daya.

Baca juga: Respons Sri Mulyani, Ini Penjelasan BWI tentang Pajak, Zakat dan Wakaf

 Pendidikan berkualitas, menurutnya, lahir dari interaksi tulus dan empati antara guru dan siswa, bukan semata dari perangkat digital.

“Kita harus menghindari jebakan berpikir bahwa ‘kelas digital’ otomatis berarti ‘pendidikan berkualitas’. Pendidikan sejati lahir dari interaksi yang penuh empati, rasa saling percaya, dan koneksi tulus antara guru dan siswa,” pungkasnya.

Oleh karena itu, baik di mimbar dakwah maupun di papan tulis, satu hal jelas: teknologi hanyalah alat. Keputusan bijak dan sentuhan kemanusiaan tetap ada di tangan manusia.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com