KOMPAS.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyamakan pajak dengan zakat dalam konteks distribusi keadilan sosial.
Menurutnya, keduanya merupakan mekanisme penyaluran hak orang lain yang terdapat dalam penghasilan seseorang, dengan hasil yang kembali kepada kelompok masyarakat yang membutuhkan.
Pajak yang dikelola melalui APBN digunakan untuk berbagai program sosial, mulai dari bantuan bagi keluarga miskin, akses permodalan UMKM, peningkatan layanan kesehatan, pendidikan bagi anak-anak dari keluarga rentan, hingga subsidi pertanian dan energi.
Baca juga: Potensi Zakat Nasional Rp 327 Triliun, Bagaimana Cara Meraihnya?
Sri Mulyani menilai, secara substansi pajak memiliki kesamaan dengan prinsip ekonomi syariah, dan pemerintah berkomitmen menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah dunia.
Menaggapi hal itu, Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Dr Tatang Astarudin menjelaskan terkait pajak, zakat, dan wakaf, serta pandangannya tentang kemungkinan sinergi di antara ketiganya untuk mendorong kesejahteraan masyarakat.
"Sepertinya konteks pernyataan Ibu Sri Mulyani adalah untuk meningkatkan penerimaan pajak, jangan hanya zakat dan wakaf saja yang didorong. Sebetulnya tidak harus saling menihilkan peran dan kontribusi masing-masing, antara zakat, wakaf, dan pajak, karena secara filosofis maksud dan tujuannya sama," Tatang kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Rabu (13/8/2025) malam.
Menurutnya, zakat, infak, sedekah, dan wakaf sama-sama merupakan bentuk kepedulian kepada sesama, namun memiliki sifat dan aturan yang berbeda.
“Kalau zakat itu ada yang mengatakan infak wajib, namanya zakat. Ada zakat mal, zakat fitrah, dengan nisab dan haul tertentu, sehingga sifatnya wajib. Kalau wakaf itu sedekah yang abadi, tidak boleh berkurang atau hilang, dilindungi secara hukum dan agama,” ujar Tatang .
Ia menjelaskan, dalam Islam terdapat dua pandangan besar terkait hubungan zakat dan pajak.
“Ada yang mengatakan kalau sudah zakat dan wakaf, tidak perlu pajak. Ada juga yang berpendapat pajak boleh saja, karena infak, sedekah, dan wakaf belum tentu mencukupi kebutuhan dasar masyarakat,” jelasnya.
Tatang menilai pajak memiliki fungsi penting sebagai instrumen negara dalam alokasi, distribusi, dan stabilisasi ekonomi.
Namun ia menekankan perlunya menghindari beban ganda bagi masyarakat.
“Menurut saya, zakat yang sudah dikeluarkan harus bisa mengurangi kewajiban pajak. Ke depan, wakaf juga bisa menjadi pengurang pajak. Itu yang fair,” katanya.
Ia mencontohkan, saat ini zakat mal yang dibayarkan dapat mengurangi penghasilan kena pajak.
“Misalnya penghasilan Rp 1 miliar, zakat 2,5 persen atau Rp 25 juta. Maka pajak dihitung dari Rp 975 juta, bukan Rp 1 miliar. Ke depan, jika wakaf diakui sebagai pengurang pajak, itu akan memotivasi masyarakat untuk berwakaf,” tambahnya.
Berdasarkan proyeksi BWI, potensi wakaf di Indonesia mencapai Rp 181 triliun per tahun, namun realisasi baru sekitar Rp 3,2 triliun.
Tatang optimistis, jika potensi tersebut dioptimalkan, beban negara akan berkurang signifikan.
“Wakaf sekarang sifatnya inklusif, tidak hanya untuk umat Islam, tapi juga untuk kesejahteraan umum dan kemaslahatan universal, termasuk lingkungan,” jelasnya.
Baca juga: Rekening Tabungan Haji BSI Tumbuh 13,51 Persen, Capai 6,33 Juta hingga Juli 2025
Ia menutup dengan menegaskan kesamaan visi antara pajak, zakat, dan wakaf.
“Dari sisi nilai dan tujuan, semuanya untuk kepedulian dan distribusi kesejahteraan. Maka wajar jika zakat dan wakaf dijadikan pengurang pajak, supaya masyarakat terdorong berkontribusi lebih besar,” pungkasnya.
Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!