Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar UI Tegaskan Dana dan Kuota Haji Bukan Keuangan Negara, tapi Milik Jemaah

Kompas.com - 09/10/2025, 20:08 WIB
Farid Assifa

Editor

Sumber Antara

KOMPAS.com — Pakar Hukum Keuangan Publik Universitas Indonesia (UI) Dian Puji Nugraha Simatupang menegaskan bahwa Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) dan kuota haji tidak termasuk dalam kategori keuangan negara.

Bipih sepenuhnya berasal dari jemaah, bukan dari APBN, sehingga tidak dapat menjadi bagian dari keuangan negara karena penggunaannya sepenuhnya untuk kepentingan jemaah haji,” ujar Dian di Jakarta, Kamis (9/10/2025).

Pernyataan tersebut disampaikan Dian untuk menjawab polemik mengenai status hukum dana dan kuota haji yang muncul dalam penyidikan dugaan korupsi kuota haji tambahan.

Menurutnya, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah secara tegas menyebutkan bahwa Bipih dan Bipih Khusus dibayarkan langsung oleh jemaah calon haji, bukan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Baca juga: PBNU Tegaskan Tolak Kehadiran Atlet Israel Bertanding di Indonesia

“Karena tidak berasal dari APBN, dana tersebut tidak termasuk penerimaan negara, baik dalam bentuk pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP),” jelas Dian.

Ia menambahkan, dana Bipih berstatus titipan jemaah haji, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Dalam aturan itu, dana titipan jemaah tidak dicatat dalam APBN.

“Artinya, dana tersebut tidak pernah masuk ke kas negara dan tidak tercatat sebagai penerimaan maupun pengeluaran negara,” tegasnya.

Dian juga menilai tidak tepat apabila dana Bipih yang belum digunakan dianggap berpotensi menimbulkan kerugian negara.

“Seluruh dana adalah milik jemaah. Jika batal berangkat, dana wajib dikembalikan sepenuhnya tanpa potongan. Jadi tidak ada kerugian negara karena dana itu bukan milik pemerintah,” katanya.

Selain soal dana, Dian turut menjelaskan bahwa kuota haji bukan hak fiskal negara, melainkan hak administratif bagi jemaah.

“Kuota haji tidak bisa dinilai dengan uang dan tidak menghasilkan pendapatan negara. Itu adalah hak pelayanan, bukan hak ekonomi,” ujarnya.

Penetapan kuota kewenangan Menag

Penetapan kuota, lanjut Dian, merupakan kewenangan administratif Menteri Agama berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019, dengan mempertimbangkan kondisi faktual dan asas kemanfaatan bagi jemaah.

“Kalau ada keberatan atau dugaan penyalahgunaan wewenang, penyelesaiannya harus melalui mekanisme hukum seperti Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.

Dian juga menegaskan bahwa tidak ada dokumen resmi pemerintah yang mencatat Bipih sebagai penerimaan negara.

Baca juga: 5 Ayat Tentang Sabar dalam Alquran, Penenang Hati Saat Menghadapi Ujian Hidup

“Bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak pernah menyatakan adanya kerugian negara dari dana Bipih, karena memang tidak pernah menjadi bagian dari APBN,” tambahnya.

Menurutnya, penyelenggaraan haji harus dipahami sebagai pelayanan keagamaan, bukan kegiatan ekonomi atau fiskal.

Oleh karena itu, ia menilai wacana hukum mengenai dana dan kuota haji sebaiknya diarahkan untuk memperkuat tata kelola dan transparansi demi kemaslahatan jemaah.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
Memuat pilihan harga...
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme Jernih KOMPAS.com