KOMPAS.com-Dalam prosesi akad nikah, kehadiran seorang wali memiliki peran yang sangat penting. Wali bertugas menikahkan mempelai perempuan dengan calon suaminya, sehingga keberadaannya menjadi salah satu syarat sah dalam pernikahan menurut syariat Islam.
Biasanya, wali yang menikahkan disebut wali nasab, yaitu ayah, kakek, saudara laki-laki, atau kerabat laki-laki dalam garis keturunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan.
Namun, dalam keadaan tertentu, peran wali nasab dapat digantikan oleh wali hakim, terutama ketika wali nasab tidak ada, tidak diketahui keberadaannya, berbeda agama, atau tidak memenuhi syarat menjadi wali nikah.
Baca juga: 90 Persen Dispensasi Nikah di Natuna karena Hamil Duluan, Kasus Meningkat pada 2025
Dilansir dari Kemenag, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Rasulullah SAW bersabda:
فَإِنَّ السُّلْطَانَ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
“Sungguh, penguasa adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali.” (HR. Ahmad)
Hadis tersebut menjadi dasar hukum keberadaan wali hakim dalam pernikahan. Para ulama sepakat bahwa penguasa atau pihak yang mewakilinya berwenang menikahkan perempuan yang tidak memiliki wali nasab, baik karena wali tersebut meninggal, hilang, non-muslim, atau menolak menikahkan tanpa alasan syar’i.
Menurut ulama mazhab Hanbali, Ibnu Qudamah, penguasa memiliki kewenangan umum dalam mengatur kemaslahatan umat, termasuk dalam urusan pernikahan.
Dalam kitab Al-Mughni (Dar Al-‘Alam Al-Kutub, Riyadh, 1997, Juz IX, h. 360–361), ia menjelaskan:
“Karena penguasa memiliki kewenangan umum untuk mengurus urusan harta dan menjaga barang-barang yang hilang, maka ia juga memiliki kewenangan dalam pernikahan sebagaimana ayah.”
Dengan demikian, wali hakim merupakan representasi kekuasaan negara yang menjalankan fungsi perwalian dalam pernikahan demi kemaslahatan umat.
Baca juga: Bolehkah Wali Menentukan Nilai Mahar dalam Pernikahan? Ini Penjelasannya
Dalam konteks Indonesia, kedudukan wali hakim diatur secara tegas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pasal 1 huruf (b) KHI menyebutkan:
“Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.” (KHI, Kemenag RI, 2018, hlm. 3)
Selanjutnya, Pasal 23 KHI menjelaskan bahwa wali hakim baru dapat bertindak apabila:
Baca juga: 34,6 Juta Pernikahan Tidak Tercatat, Kemenag Dorong Anak Muda Catat Nikah Resmi
Menurut Pasal 13 ayat (2) dan (3) PMA Nomor 30 Tahun 2024, wali hakim adalah penghulu yang diberi tugas tambahan sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA).
Apabila Kepala KUA bukan seorang penghulu, maka tugas wali hakim dijalankan oleh penghulu yang ditunjuk resmi oleh Kementerian Agama.
Masih dalam pasal yang sama, ayat (5) mengatur enam kondisi ketika wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah, yaitu:
Baca juga: Urutan Wali Nikah dalam Islam dan Syarat-Syaratnya
Dalam praktiknya, wali hakim berfungsi sebagai pihak yang mewakili pemerintah untuk menjamin sahnya akad nikah bagi perempuan yang tidak memiliki wali nasab.
Di Indonesia, peran tersebut dijalankan oleh penghulu di bawah Kementerian Agama. Hal ini memastikan bahwa setiap pernikahan tetap memenuhi rukun dan syarat sah sesuai hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
Wali hakim tidak hanya berperan sebagai pelaksana administratif, tetapi juga sebagai perpanjangan tangan negara dalam menjaga kemaslahatan umat dan menjamin perlindungan hukum bagi calon pengantin.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang