KOMPAS.com-Suami menikah siri diam-diam tanpa seizin istri sah bukan hanya menimbulkan luka batin, tetapi juga dapat berujung pada persoalan hukum di Indonesia.
Kasus seperti ini sering terjadi ketika istri baru mengetahui bahwa suaminya telah menikah lagi secara siri dan bahkan memiliki anak dari pernikahan tersebut.
Pertanyaan yang muncul kemudian menyangkut dua hal, yaitu bagaimana status hukum nikah siri dan apa saja langkah yang dapat ditempuh istri sah untuk melindungi haknya.
Pembahasan berikut mengulas hukum nikah siri tanpa seizin istri sah, ancaman pidana terhadap suami, tinjauan dari buku-buku fikih dan hukum perkawinan, serta opsi langkah hukum bagi istri.
Baca juga: MUI Tegaskan Nikah Siri Sah secara Agama tapi Diharamkan karena Timbulkan Mudarat
Dilansir dari laman Kejaksaan, secara umum, nikah siri dipahami sebagai pernikahan yang dilakukan menurut ketentuan agama, tetapi tidak dicatat secara resmi oleh negara.
Akadnya dapat memenuhi rukun dan syarat nikah secara agama, namun pernikahan tidak tercatat di Kantor Urusan Agama atau Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 mewajibkan setiap perkawinan dicatat agar diakui secara hukum.
Pasal 2 menegaskan bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum agama, dan tiap-tiap perkawinan wajib dicatat sesuai peraturan perundang-undangan.
Kompilasi Hukum Islam melalui Pasal 5 dan Pasal 6 juga menegaskan bahwa pencatatan perkawinan diperlukan demi ketertiban dan bahwa perkawinan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum administrasi.
Dampak praktis dari kondisi ini cukup besar terhadap istri siri dan anak, terutama terkait hak nafkah, warisan, serta kejelasan status hukum keperdataan.
Baca juga: Marak Jasa Nikah Siri di Medsos, Kemenag Ingatkan Risiko bagi Perempuan dan Anak
Masalah menjadi lebih serius ketika suami masih terikat pernikahan sah secara negara, lalu menikah siri lagi tanpa izin istri sah.
Perbuatan tersebut tidak hanya melanggar komitmen rumah tangga, tetapi juga berpotensi berhadapan dengan hukum pidana.
Pertama, praktik nikah siri dalam keadaan masih terikat perkawinan sah dapat dikaitkan dengan delik perzinahan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 KUHP.
Pasal ini mengatur ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan bagi pria atau wanita yang telah kawin lalu melakukan hubungan layaknya suami istri dengan orang lain, serta bagi pasangan selingkuh yang mengetahui bahwa lawan mainnya sudah terikat perkawinan.
Kedua, suami yang menikah lagi sementara perkawinan sebelumnya masih sah juga dapat tersentuh Pasal 279 ayat (1) KUHP tentang perkawinan dengan adanya penghalang.
Pasal 279 ayat (1) ke-1 KUHP mengancam pidana penjara paling lama lima tahun terhadap siapa saja yang mengadakan perkawinan, padahal ia mengetahui masih terikat perkawinan lain yang menjadi penghalang sah untuk menikah kembali.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 menegaskan bahwa Pasal 279 KUHP dapat diterapkan terhadap suami yang menikahi perempuan lain tanpa izin istrinya dan tanpa prosedur poligami yang sah.
Konteks ini membuat suami yang nikah siri diam-diam tanpa izin istri sah dan tanpa penetapan pengadilan berpotensi diproses sebagai pelaku tindak pidana.
Baca juga: Fenomena Nikah Siri Dalam Pandangan Islam
Istri sah memiliki hak untuk mencari perlindungan hukum ketika mengetahui suami menikah siri tanpa izin dan tanpa prosedur yang sah.
Langkah hukum dapat ditempuh melalui jalur pidana maupun jalur perdata di Pengadilan Agama, bergantung pada tujuan dan kepentingan yang ingin diamankan.
Tahap awal yang disarankan ialah berkonsultasi dengan pengacara atau penasihat hukum agar posisi hukum istri sah dapat dipetakan dengan jelas.
Pendampingan hukum membantu istri menentukan pasal yang relevan, menyiapkan bukti, dan memahami konsekuensi dari setiap pilihan langkah.
Tahap berikutnya adalah mengumpulkan bukti-bukti terkait nikah siri maupun hubungan suami dengan istri siri.
Hukum acara pidana mensyaratkan minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur Pasal 184 KUHAP.
Baca juga: Wali Hakim dalam Akad Nikah: Dasar Hukum dan Ketentuannya di Indonesia
Bukti dapat berupa keterangan saksi, dokumen, salinan percakapan, foto, rekaman, atau bukti lain yang menguatkan dugaan adanya pernikahan siri dan hubungan layaknya suami istri.
Setelah bukti awal terkumpul, istri dapat membuat laporan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu di kantor polisi.
Petugas akan mencatat laporan dan memberikan nomor registrasi yang menjadi dasar dimulainya proses penyelidikan dan penyidikan.
Istri sah kemudian perlu mengikuti pemeriksaan, menghadirkan saksi, dan memenuhi panggilan penyidik sesuai kebutuhan proses.
Jika alat bukti dinilai cukup, perkara dapat berlanjut ke tahap penyidikan dan kemudian diproses di pengadilan.
Di luar jalur pidana, istri sah juga bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama untuk menuntut nafkah, hak anak, penetapan status anak, atau cerai apabila pernikahan sudah sulit dipertahankan.
Keputusan ini sebaiknya dipertimbangkan secara matang dengan melihat kondisi psikis, ekonomi, dan masa depan anak.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis menegaskan bahwa nikah siri memang sah secara agama jika syarat dan rukunnya terpenuhi.
Akan tetapi, praktik pernikahan yang tidak dicatatkan di KUA sering menimbulkan mudarat bagi perempuan dan anak sehingga MUI menghukuminya haram karena berpotensi merugikan pihak lain.
Islam memandang pernikahan sebagai akad yang kuat dan sakral yang harus dijaga dengan amanah dan tanggung jawab.
Al Quran memerintahkan kaum beriman untuk menepati perjanjian, termasuk perjanjian pernikahan antara suami dan istri.
اللّٰهُ تَعَالَى berfirman:
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”
(QS Al-Ma’idah [5]: 1)
Ayat ini mengingatkan bahwa akad nikah dengan istri sah adalah perjanjian yang tidak boleh dikhianati begitu saja.
Al Quran juga memberi panduan tentang keadilan dalam konteks pernikahan lebih dari satu.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Artinya:
“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.”
(QS An-Nisa [4]: 3, potongan ayat)
Pesan ayat ini menekankan bahwa poligami tidak boleh dijalankan tanpa keadilan, keterbukaan, dan tanggung jawab.
Pernikahan kedua yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa seizin istri sah, tanpa prosedur hukum negara, dan tanpa perlindungan yang jelas bagi semua pihak berpotensi bertentangan dengan ruh keadilan dalam ajaran Islam.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang