KOMPAS.com - Dalam sejarah para nabi, kisah Nabi Ayub AS menempati tempat istimewa sebagai simbol keteguhan iman di tengah penderitaan panjang.
Ia dikenal sebagai sosok yang saleh, taat beribadah, dan dikaruniai kehidupan yang lapang. Harta melimpah, keluarga yang harmonis, serta kedudukan terhormat menjadikan Nabi Ayub AS contoh manusia yang hidup dalam kecukupan tanpa melupakan Tuhan.
Namun, kehidupan yang tampak sempurna itu justru menjadi awal dari ujian besar. Allah menakdirkan Nabi Ayub AS menghadapi cobaan berlapis, bukan untuk menjatuhkannya, melainkan untuk memperlihatkan kualitas imannya.
Dari kisah inilah, umat manusia diajak memahami bahwa keimanan sejati tidak diuji saat lapang, melainkan ketika hidup berada di titik paling berat.
Baca juga: Kisah Nabi Shaleh AS: Unta Betina Awal Kehancuran Kaum Tsamud
Ujian Nabi Ayub AS datang secara bertahap. Harta kekayaannya musnah, ternaknya binasa, dan ladang-ladangnya rusak.
Tidak berhenti di situ, satu per satu anggota keluarganya pun wafat. Dalam waktu singkat, Nabi Ayub AS kehilangan hampir seluruh sandaran duniawinya.
Namun, tidak tercatat satu keluhan pun keluar dari lisannya. Ia tetap memuji Allah dan menerima takdir dengan penuh kerelaan.
Kesabaran Nabi Ayub AS bukanlah sikap pasrah tanpa kesadaran, melainkan bentuk keyakinan mendalam bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Dikutip dari buku Kisah Para Nabi karya Ibnu Katsir, cobaan terbesar Nabi Ayub AS datang dalam bentuk penyakit berat yang menyerang tubuhnya.
Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa ia mengalami penyakit kulit yang parah dan berlangsung dalam waktu yang sangat lama.
Tubuhnya melemah, rasa sakit terus-menerus menggerogoti fisiknya, hingga ia terasing dari lingkungan sekitar.
Meski demikian, penyakit itu tidak merusak kejernihan hatinya. Nabi Ayub AS tetap menjaga lisannya dari keluh kesah dan hatinya dari prasangka buruk kepada Allah.
Ia menjalani hari-hari dengan sabar, memohon pertolongan hanya kepada Tuhan, tanpa kehilangan rasa syukur atas nikmat iman yang masih ia miliki.
Baca juga: Kisah Nabi Nuh AS, Ketaatan di Tengah Ejekan dan Penolakan
Di tengah penderitaan panjang itu, Nabi Ayub AS tidak sepenuhnya sendiri. Istrinya setia mendampingi, merawat, dan menopang kehidupannya dengan penuh kesabaran.
Kesetiaan ini menjadi bagian penting dari kisah Nabi Ayub AS, menegaskan bahwa ujian tidak hanya ditanggung oleh satu orang, tetapi juga oleh orang-orang terdekat yang setia berjalan bersama.
Setelah bertahun-tahun bersabar, Nabi Ayub AS akhirnya memanjatkan doa yang terekam dalam Al-Qur’an.
وَاَيُّوْبَ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَاَنْتَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ
wa ayyûba idz nâdâ rabbahû annî massaniyadl-dlurru wa anta ar-ḫamur-râḫimîn
Artinya: (Ingatlah) Ayyub ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku,) sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.”
Doa ini singkat, tetapi penuh makna. Nabi Ayub AS tidak menyebutkan secara rinci penderitaannya, tidak pula meminta secara eksplisit agar penyakitnya diangkat.
Ia hanya menyampaikan kondisi dirinya, lalu menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada kasih sayang Allah.
Justru dari doa yang penuh adab inilah pertolongan Allah datang. Tanpa nada protes, tanpa menyalahkan takdir.
Nabi Ayub AS menunjukkan bahwa puncak iman seorang hamba terletak pada keyakinan bahwa Allah selalu Maha Mengetahui dan Maha Mengasihi, bahkan ketika manusia berada di titik paling lemah.
Baca juga: Kisah Nabi Hud AS: Azab Orang Sombong dan Awal Kehancuran Kaum ‘Ad
Allah mengabulkan doa Nabi Ayub AS. Ia diperintahkan untuk menghentakkan kakinya ke tanah, lalu memancarlah air yang menjadi sarana kesembuhan.
Penyakit yang lama dideritanya pun lenyap. Tubuhnya kembali sehat, kekuatannya pulih, dan kehidupannya diperbaiki.
Tidak hanya itu, Allah mengembalikan harta dan keluarganya, bahkan melipatgandakannya sebagai bentuk rahmat dan pelajaran bagi manusia.
Ujian panjang Nabi Ayub AS berakhir dengan kemuliaan, bukan karena ia menuntut balasan, tetapi karena kesabarannya yang tulus.
Kisah Nabi Ayub AS mengajarkan bahwa penderitaan bukan tanda kebencian Allah, melainkan bisa menjadi jalan pemurnian iman.
Kesabaran yang ditunjukkan Nabi Ayub AS bukan sekadar menahan diri, tetapi menjaga hati agar tetap percaya dan berserah kepada Allah dalam kondisi apa pun.
Di tengah dunia modern yang sering mengukur kebahagiaan dari kesehatan, harta, dan status sosial, kisah Nabi Ayub AS menjadi pengingat bahwa kekuatan sejati terletak pada keteguhan iman.
Ia menunjukkan bahwa ujian seberat apa pun tidak akan mampu meruntuhkan hati yang sepenuhnya bergantung kepada Allah.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang