KOMPAS.com - Fenomena nikah siri di Indonesia saat ini sedang merebak dan ramai diperbincangkan. Hal ini terjadi karena viralnya biro jodoh yang melayani jasa nikah siri bagi masyarakat.
Nikah siri berasal dari kata bahasa arab sirri yang artinya ditutup-tutupi atau rahasia. Makna nikah siri adalah nikah yang dirahasiakan atau ditutup-tutupi dan tidak tercatat di lembaga resmi pencatat pernikahan, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA).
Baca juga: Wali Hakim dalam Akad Nikah: Dasar Hukum dan Ketentuannya di Indonesia
Nikah siri disebut juga dengan nikah 'urfi. Nikah siri dibagi menjadi dua, yaitu nikah siri tanpa wali dan tanpa saksi, dan nikah yang memenuhi syarat dan rukun nikah tetapi tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Apabila nikah siri dilakukan tanpa wali dan saksi, maka nikah seperti ini haram. Tidak ada pernikahan tanpa adanya wali. Hal ini disampaikan Nabi Muhammad SAW dalam haditsnya:
ﻻَ ﻧِﻜَﺎﺡَ ﺇِﻻَّ ﺑِﻮَﻟِﻲٍّ، ﻭَﺷَﺎﻫِﺪَﻱْ ﻋَﺪْﻝٍ
Artinya; “Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali dan dua orang saksi yang adil.” (H.R. Abdur Razaq).
Apabila nikah siri dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun nikah, hanya saja tidak dicatatkan di lembaga pencatat pernikahan, maka nikah seperti ini tetap sah.
Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa menjelaskan bahwa apabila nikah siri (‘urfi) telah sempurna ijab dan qabulnya, disaksikan oleh dua orang saksi dan telah diumumkan, maka ini adalah pernikahan yang syar’i dan sah. Walaupun tidak dicatat di kantor resmi.
Baca juga: Urutan Wali Nikah dalam Islam dan Syarat-Syaratnya
Dalam nikah siri, wali pernikahan menjadi aspek yang sangat penting untuk diperhatikan. Wali nikah tidak bisa diberikan secara sembarangan kepada orang yang tidak memenuhi syarat. Wali nikah yang utama adalah ayah kandung dari perempuan yang akan nikah.
Apabila masih ada ayah kandung yang berhak menikahkan puterinya, maka wali-wali lain menjadi terhalang, kecuali ada udzur atau alasan yang kuat untuk menggantikan kedudukan ayah kandung sebagai wali.
Ketika tidak ada ayah kandung sebagai wali, urutan wali selanjutnya secara berurutan adalah kakek (dari pihak ayah), saudara laki-laki kandung (sebapak dan seibu), saudara laki-laki sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan seibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak, paman (saudara laki-laki ayah).
Apabila wali dari unsur kekerabatan tidak ada, maka bisa ditunjuk wali hakim untuk menikahkan seorang perempuan. Pemilihan wali nikah ini tidak bisa sembarangan. Wali nikah adalah penguasa atau seseorang yang ditunjuk oleh penguasa untuk menjadi wali hakim, dalam hal ini, wali hakim adalah petugas dari Kantor Urusan Agama (KUA).
فَإِنَّ السُّلْطَانَ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Artinya, “Sungguh penguasa adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali.” (HR. Ahmad).
Baca juga: Bacaan Doa Setelah Akad Nikah: Arab, Latin, dan Artinya
Sementara dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 huruf b menyebutkan:
“Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.”
Jadi tidak bisa sembarangan mengangkat seseorang sebagai wali nikah.
Meskipun nikah siri yang memenuhi syarat diperbolehkan, namun baik buruk dari pernikahan ini harus dipertimbangkan dengan matang. Berikut ini beberapa pertimbangan baik dan buruk dalam nikah siri.
Kebaikan nikah siri adalah menghindari perzinaan bagi orang yang sudah ingin menikah tetapi ada halangan yang membuatnya belum bisa menikah secara resmi.
Sedangkan keburukan dari nikah siri adalah:
1. Bila tanpa wali dan saksi, maka nikah tersebut jelas tidak sah;
2. Pemilihan wali yang sembarangan, padahal masih ada wali yang berhak menikahkan, maka pernikahan tersebut juga tidak sah;
3. Apabila nikah siri dilakukan untuk menyembunyikan sesuatu, misal dari istri sah, maka berpotensi menimbulkan konflik rumah tangga.
4. Nikah siri tidak diakui negara dan pihak perempuan tidak bisa menuntut karena tidak adanya legalitas pernikahan;
Baca juga: Sunnah-sunnah Malam Pertama agar Rumah Tangga Berkah dan Bahagia
5. Tanpa legalitas, istri siri tidak bisa menuntut apapun kepada suami sirinya;
6. Anak hasil nikah siri dianggap sama dengan anak di luar nikah sehingga nasabnya secara hukum kepada ibunya, bukan ayahnya dan tidak bisa menuntut hak waris.
7. Nikah siri secara sosial menimbulkan prasangka, fitnah, dan kasak kusuk di tengah masyarakat.
8. Berdasarkan pengalaman yang ada, perempuan banyak dirugikan dan ditinggalkan begitu saja dalam nikah siri, hak-haknya sebagai istri tidak dipenuhi.
Berdasakan pertimbangan baik dan buruk, nikah siri sebaiknya dihindari karena lebih banyak madharat (keburukan) daripada maslahat (kebaikannya). Wallahu a'lam.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang