Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wakil Ketua BWI Tatang: Zakat dan Wakaf Bisa Jadi Pengurang Pajak

Kompas.com - 14/08/2025, 08:37 WIB
Farid Assifa

Editor

KOMPAS.com – Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) Dr Tatang Astarudin menegaskan pentingnya memahami perbedaan antara pajak, zakat, dan wakaf.

Menurutnya, ketiga hal ini sama-sama berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat, tetapi memiliki mekanisme dan tujuan yang berbeda.

"Kalau pajak itu kewajiban warga negara kepada pemerintah yang diatur oleh undang-undang, sedangkan zakat dan wakaf adalah kewajiban keagamaan yang diatur oleh syariat Islam," ujar Tatang kepada Kompas.com via sambungan telepon, Rabu (13/8/2025) malam.

Tatang menjelaskan, pajak bersifat memaksa dan hasilnya dikelola negara untuk kepentingan umum, sedangkan zakat merupakan rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh umat Muslim dengan kadar tertentu dan mustahiknya sudah diatur dalam Al-Qur’an.

Baca juga: Respons Sri Mulyani, Ini Penjelasan BWI tentang Pajak, Zakat dan Wakaf

Sementara itu, wakaf berbeda lagi. Wakaf adalah penyerahan harta untuk dimanfaatkan selamanya atau jangka waktu tertentu sesuai syariat, dengan hasil yang digunakan untuk kemaslahatan umat.

"Kalau zakat sifatnya habis dibagikan, wakaf itu asetnya tetap, hasilnya yang dimanfaatkan," jelasnya.

Ia juga mendorong adanya kebijakan yang memungkinkan zakat dan wakaf menjadi pengurang pajak.

Menurutnya, langkah ini akan memperbesar potensi penghimpunan dana umat untuk kesejahteraan sosial.

"Kalau zakat dan wakaf bisa mengurangi pajak, maka masyarakat akan lebih terdorong menunaikannya. Dampaknya, kesejahteraan umat meningkat, dan negara pun terbantu dalam pembiayaan pembangunan sosial," tegasnya.

Ia pun menyinggung pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang "menyamakan" pajak dengan zakat dan wakaf dalam konteks distribusi keadilan sosial. Jika demikian, kata Tatang, maka seharusnya zakat dan wakaf bisa mereduksi pajak.

"Ketika beliau 'menyamakan' pajak, zakat, dan wakaf, maka seyogianya wakaf dapat mereduksi pajak," tandas Tatang.

Ia mencontohkan seorang pengusaha dengan penghasilan Rp 1 miliar dalam setahun. Lalu si pengusaha itu mengeluarkan zakatnya 2,5 persen. Nanti yang 2,5 persen itu menjadi pengurang penghasilan yang kena pajak. Misalnya penghasilan kena pajaknya 1 miliar dikurangi 2,5 persen, sehingga yang dihitung pajak adalah Rp 975 juta.

Demikian juga dengan wakaf. Jika seseorang mengeluarkan 10 persen wakaf, maka penghasilan yang terkena pajak adalah 90 persen.

"Nah ke depan, kami sebetulnya kalau pemerintah, dan ini bagus saja, untuk mendorong proses akselerasi pengumpulan wakaf dari para pengusaha, pejabat pemerintah dan lainnya setiap tahun. Itu akan memstimulasi orang-orang untuk berwakaf. Karena dengan itu dia akan mengurangi beban dia dalam pengeluaran," katanya.

Baca juga: Potensi Zakat Nasional Rp 327 Triliun, Bagaimana Cara Meraihnya?

Tatang menilai, sinergi antara pajak, zakat, dan wakaf dapat menciptakan sistem keuangan yang lebih adil dan merata.

Ia pun mengajak seluruh pihak, baik pemerintah, lembaga zakat, maupun nadzir wakaf, untuk bersama-sama meningkatkan literasi masyarakat terkait peran strategis ketiga instrumen ini.

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke