KOMPAS.com – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut gerhana bulan total akan berlangsung pada Ahad (7/9/2025) malam hingga Senin (8/9/2025) pagi.
Fenomena ini sejak zaman dahulu kerap dihubungkan dengan berbagai mitos. Pada masa awal Islam, sebagian orang memaknainya sebagai pertanda kematian tokoh besar atau terjadinya sebuah peristiwa penting.
Namun, Islam justru menegaskan bahwa gerhana adalah tanda kebesaran Allah SWT, bukan pertanda musibah. Di momen tersebut, disyariatkan melaksanakan shalat sunnah gerhana bulan atau shalat khusuf.
Baca juga: Dari Mitos ke Tauhid: Pandangan Islam tentang Fenomena Gerhana
Sebelum Islam hadir, masyarakat Arab meyakini bahwa gerhana berkaitan dengan kematian orang penting. Keyakinan ini ditepis Rasulullah SAW sebagaimana riwayat Ibnu Hibban dalam kitab sahihnya:
فإن رجالًا يزعمون أن كسوف هذه الشمس وكسوف هذا القمر، وزوال هذه النجوم من مطالعها، لموت رجال عظماء من أهل الأرض، إنهم قد كذبوا. ولكنها آيات من آيات الله عز وجل
Artinya: “Orang-orang menduga bahwa gerhana matahari atau bulan dan fenomena bintang jatuh disebabkan kematian seorang tokoh pembesar di muka bumi, sungguh mereka telah berbohong. Padahal, gerhana adalah salah satu dari sekian tanda kebesaran Allah SWT…” (Sahih Ibnu Hibban, juz 7 hlm 101 no Hadis 2856).
Bahkan, ketika Ibrahim, putra Nabi Muhammad SAW dari Mariah al-Qibtiyyah, wafat bersamaan dengan gerhana matahari, Rasulullah SAW menegaskan:
كَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ... فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ
Artinya: “Sesungguhnya matahari dan bulan tidak akan mengalami gerhana disebabkan mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka shalat dan berdoalah kalian kepada Allah.” (HR al-Bukhari no Hadis 985).
Ulama berbeda pendapat soal awal pensyariatan shalat gerhana. Syekh Yusuf al-Qaradawi menyebut ibadah ini pertama kali dilaksanakan pada tahun kesepuluh Hijriah, bertepatan dengan wafatnya Ibrahim, putra Nabi.
Sementara ulama Madzhab Syafi’i berpendapat, shalat gerhana matahari pertama kali disyariatkan pada tahun kedua Hijriah, sedangkan gerhana bulan pada tahun kelima Hijriah. (Lihat al-Fiqh al-Manhaji ‘Ala Madzhab al-Imam as-Syafi’i, juz 1 hlm 239).
Rasulullah SAW menjelaskan hikmah fenomena ini dalam sabdanya:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ، وَلَكِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ
Artinya: “Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan keduanya tidak akan mengalami gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Akan tetapi, dengan peristiwa itu Allah ingin membuat para hamba-Nya takut.”
Dengan demikian, pensyariatan shalat gerhana tidak hanya sebagai ibadah khusus, tetapi juga upaya mematahkan mitos jahiliyyah dan mendorong masyarakat memahami fenomena ini secara ilmiah.
Baca juga: Kumpulan Doa Saat Gerhana Bulan Total 7–8 September 2025
Menurut BMKG, gerhana bulan total akan dapat diamati hampir di seluruh wilayah Indonesia.
Fenomena langka ini sekaligus menjadi momentum umat Islam untuk meningkatkan keimanan dengan melaksanakan shalat gerhana, berdoa, dan mengingat kebesaran Allah SWT.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini