KOMPAS.com – Suasana haru menyelimuti Auditorium Prof Ali Hasjmy, Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Banda Aceh, pada hari ketiga Wisuda Gelombang III, Kamis (2/10/2025).
Di antara ribuan mahasiswa berbalut toga hitam, ada pemandangan yang menggetarkan hati. Armaya Rosa (25), putri pasangan tunanetra, berdiri tegak di panggung wisuda.
Toga yang dikenakannya menjadi simbol akademik sekaligus buah doa panjang kedua orang tua. Meski tak pernah bisa melihat, mereka selalu menuntun jalan sang anak.
Baca juga: MUI Gandeng UIN Sunan Kalijaga Cetak “Mujahid Digital” di Dunia Maya
Sang ayah, Hasril Hendra Armadi, menggenggam erat tangan Armaya. Dengan mata kosong, ia tetap menyampaikan rasa syukur.
“Walaupun tidak bisa melihat langsung, saya tahu anak saya sudah menyelesaikan kuliahnya,” ucap Hasril lirih.
Sejenak auditorium hening, sebelum akhirnya tepuk tangan bergemuruh. Banyak mata berkaca-kaca menyaksikan kisah perjuangan cinta orang tua yang tak pernah padam meski dalam keterbatasan.
Armaya lahir di Sigli 25 tahun lalu dan tumbuh besar di Banda Aceh. Ia merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Sejak kecil, kehidupannya ditempa oleh keteguhan dan perjuangan orang tua.
Ayahnya, Hasril, bekerja sebagai tukang pijat. Sementara sang ibu, Saniah, yang juga tunanetra, mengurus rumah tangga sambil membantu mencari nafkah dengan profesi serupa.
“Banyak tantangan, apalagi ekonomi keluarga kurang mampu. Tapi saya yakin anak saya bisa menyelesaikan kuliahnya,” kata Hasril dengan penuh keyakinan.
Pesan itu menumbuhkan semangat dalam diri Armaya. Selama 13 semester menempuh studi Kimia, ia pernah hampir menyerah. Namun, nasihat ayahnya menjadi suluh yang terus ia genggam.
“Jangan minder, jangan malu, tetaplah berjuang,” begitu pesan sang ayah.
Baca juga: Pertama dalam Sejarah UIN, Maulid Nabi Dihadiri 5.000 Orang dan Bahas Isu Lingkungan
Perjuangan itu akhirnya berbuah. Armaya dinyatakan lulus dengan IPK 3,11.
“Orangtua saya selalu menanamkan semangat. Walaupun mereka tunanetra, mereka tidak pernah menyerah. Itu membuat saya terus bertahan,” ujar Armaya dengan suara bergetar.
Hasril pun kembali menegaskan prinsip hidup keluarga kecilnya.
“Walaupun orangtua cacat tunanetra, kalian harus bisa seperti orang lain. Alhamdulillah, anak-anak saya tidak malu punya orang tua seperti kami,” tuturnya.
Bagi Armaya, toga yang ia kenakan sarat makna. Di baliknya ada peluh dan doa tanpa henti, doa yang tak bisa melihat tetapi bisa dirasakan.
“Saya sangat bahagia bisa membanggakan orang tua di momen ini,” katanya tersenyum.
Di tengah riuh tepuk tangan ribuan orang, Hasril dan Saniah mungkin tidak bisa menyaksikan langsung wajah putrinya. Namun, mereka bisa mendengar sorak sorai itu—dan itulah mata mereka.
Tepuk tangan tersebut menjadi cahaya yang menerangi gelap, menegaskan bahwa perjuangan panjang akhirnya berbuah manis.
Baca juga: Wisuda Pertama UIN Siber Cirebon: Pendidikan Jarak Jauh Berbasis AI
Armaya adalah satu dari 2.081 lulusan UIN Ar-Raniry pada Wisuda Gelombang III Tahun 2025. Rinciannya terdiri atas 1.932 sarjana, 139 magister, dan 10 doktor. Sejak berdiri, kampus ini telah melahirkan 64.454 alumni.
Namun bagi Armaya, angka hanyalah statistik. Baginya, pendidikan bukan sekadar ijazah, melainkan bukti cinta, doa, dan keyakinan yang melampaui keterbatasan.
Meski orangtuanya tak bisa menatap wajahnya, mereka bisa merasakan cahaya yang lahir dari perjuangan itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.