
HAJI, yang mestinya menjadi puncak perjalanan spiritual umat Islam, kini kian kehilangan kedalaman maknanya. Jutaan langkah mengitari Ka’bah setiap tahun, namun tak semuanya kembali dengan jiwa yang berubah.
Banyak jamaah pulang sebagai “haji baru”, tetapi bukan sebagai manusia baru. Pertanyaannya, di mana hilangnya ruh transformasi yang dahulu menjadikan haji sebagai titik balik hidup para ulama dan tokoh bangsa?
Jika menelusuri sejarah Nusantara, khususnya pada abad ke-18 hingga awal abad ke-20, haji adalah fenomena yang jauh lebih kompleks dan multidimensional.
Baca juga: Kuota Haji 2026 Disesuaikan, Kemenhaj Samakan Masa Tunggu Jadi 26,4 Tahun
Musim haji bukan hanya tentang wukuf, thawaf dan sa'i, tetapi juga merupakan “musim belajar,” pusat transformasi intelektual, dan simpul strategis bagi penguatan gerakan, baik gerakan pembaruan Islam maupun gerakan kemerdekaan Indonesia.
Pada masa lalu, haji adalah ruang transformasi yang jauh melampaui ritual. Para tokoh besar Indonesia, misalnya HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, KH Ahmad Dahlan, hingga KH Hasyim Asy’ari, menjalani haji sebagai proses pembentukan visi, karakter, dan kepemimpinan. Mereka pulang dengan gagasan-gagasan besar yang mengubah arah bangsa.
Salah satu sumber kekuatan transformasi itu adalah jaringan ulama Nusantara di Haramain, yang pada musim haji menjadi simpul intelektual terbesar bagi para jamaah Asia Tenggara.
Nama-nama besar seperti Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan Syaikh Mahfudz Termas menjadi pusat gravitasi intelektual yang menarik para pelajar dan pembaru dari Hindia Belanda.
Musim haji bukan hanya musim mabit dan tawaf, tetapi musim diskusi tentang kolonialisme, fiqih, pendidikan, dan pembaruan sosial. Di serambi Masjidil Haram dan majelis-majelis ilmu, para jamaah Nusantara menyerap wawasan global dan mematangkan kesadaran kebangsaan.
HOS Tjokroaminoto menemukan inspirasi bagi gagasan kesetaraan Sarekat Islam dari pertemuan lintas bangsa di Tanah Suci. Haji Agus Salim memperluas horizon diplomasi dan politiknya melalui jejaring ulama dan intelektual internasional.
Ahmad Dahlan membawa pulang metode pendidikan modern, sementara Hasyim Asy’ari menyerap tradisi keilmuan mendalam yang kelak melahirkan Nahdlatul Ulama (NU). Lantas, bagaimana kita bisa menghidupkan kembali semangat ini di era sekarang?
Saya merindukan, umat Islam Indonesia bisa melakukan perjalanan ibadah haji seperti dahulu kala. Dan saat ini adalah momentumnya. Ketika Presiden Prabowo membentuk Kementerian Haji dan Umrah, kesempatan besar terbuka untuk menyempurnakan penyelenggaraan haji Indonesia. Namun, kementerian ini tidak boleh jatuh pada jebakan lama, yang hanya mengurusi persoalan teknis perjalanan.
Jika itu yang terjadi, maka kita tidak sedang membuat terobosan, tapi hanya memperluas birokrasi yang membebani. Bahkan, kasus korupsi haji bun bisa kembali terulang. Ini semua tentu tidak kita inginkan terjadi. Karena itu, Kementerian Haji dan Umrah harus dibentengi oleh sistem yang transparan dan akuntabel.
Pengelolaan dana haji harus diawasi secara ketat, audit dilakukan berkala dan dibuka ke publik, dan seluruh proses pelayanan harus berbasis prinsip keadilan serta efisiensi.
Tanpa transparansi dan akuntabilitas, kementerian baru ini hanya akan menambah ruang gelap birokrasi. Sejarah telah menunjukkan, betapa mahal harga yang harus dibayar ketika haji dikelola tanpa kontrol publik yang memadai.
Namun, membenahi sistem administratif saja tidak cukup. Jika kita ingin mengembalikan misi transformasi haji seperti dahulu, maka penyelenggaraan haji harus dipandu oleh nilai, visi, dan bimbingan keilmuan yang kuat.
Pada masa lalu, haji menjadi pusat pendidikan dan transformasi intelektual, bukan karena fasilitasnya mewah, tetapi karena ada figur-figur ulama yang membimbing jamaah dengan pandangan luas, moderat, dan strategis.
Berdasarkan tuntutan ini, menurut saya, pembentukan Dewan Penasehat Syariah (DPS) menjadi kebutuhan mutlak dalam kementerian ini. Penasehat syariah bukan dimaksudkan sekadar untuk mengawasi soal fikih manasik. Lebih dari itu.
Mereka harus berperan mengarahkan penyelenggaraan haji agar menghidupkan kembali ruh keilmuan, adab intelektual, serta semangat perubahan sosial sebagaimana yang dulu hadir di Haramain.
Untuk itu, DPS akan mengemban mandat yang strategis. Pertama, mereka merumuskan visi keilmuan dan transformasi haji, bukan sekadar standar fiqh manasik. Dewan ini perlu menegaskan kembali bahwa haji bukan hanya perjalanan fisik, tetapi perjalanan intelektual dan spiritual yang membentuk karakter, etika sosial, dan kesadaran kebangsaan. Visi ini harus menjadi pedoman bagi seluruh kebijakan teknis kementerian.
Kedua, DPS akan mengembalikan tradisi majelis ilmu selama penyelenggaraan haji dan umrah. Dahulu, jamaah Nusantara menyempatkan diri belajar di majelis para ulama besar yang membuka cakrawala, memperluas pemahaman agama, dan menanamkan adab keilmuan.
Dewan ini dapat merancang kurikulum pembekalan, halaqah, diskusi tematik, dan forum lintas bangsa yang mempertemukan jamaah Indonesia dengan ulama atau intelektual kredibel di Tanah Suci. Ini akan menghidupkan kembali “musim belajar” sebagai ruh utama haji.
Ketiga, DPS harus menjadi jembatan revitalisasi jaringan ulama Nusantara dengan ulama internasional sebagaimana yang pernah terjadi. Saat ini, Indonesia masih memiliki banyak ulama dan cendekiawan berkaliber global, tetapi tidak terkoordinasi dalam satu ekosistem penyelenggaraan haji. Jaringan ulama ini dapat memperluas wawasan jamaah dan menghubungkan kembali Indonesia dengan dinamika intelektual Islam dunia.
Baca juga: Konsep Embarkasi Haji Berbasis Hotel Mulai Dipakai di Yogyakarta pada 2026
Jika ini bisa diwujudkan, Kementerian Haji dan Umrah tidak sekadar menjadi penyedia layanan perjalanan, tetapi institusi yang mengelola proses transformasi manusia Indonesia.
Saya berharap, ibadah haji kembali menjadi peristiwa agung yang melahirkan manusia yang berpengetahuan, beradab, dan berkomitmen pada perubahan sosial, sebagaimana era para pendahulu ulama Nusantara yang menjadikannya sebagai titik balik perjalanan hidup. (*)
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang