KOMPAS.com - Nama Nabi Luth AS selalu hadir dalam kisah tentang peringatan, kesabaran, dan batas akhir pembangkangan manusia.
Ia diutus kepada kaum Sodom, sebuah masyarakat yang dalam catatan Al-Qur’an dikenal telah melampaui batas moral dan kemanusiaan.
Bukan hanya karena penyimpangan perilaku seksual yang terang-terangan, tetapi juga karena penolakan kolektif terhadap kebenaran dan nasihat.
Nabi Luth bukan datang sebagai hakim, melainkan sebagai penyeru. Ia mengingatkan kaumnya agar kembali kepada fitrah, meninggalkan perbuatan keji, dan memuliakan nilai-nilai kemanusiaan.
Namun, dakwah itu justru dibalas dengan ejekan dan ancaman pengusiran. Dalam Surah Al-A’raf ayat 82, kaum Luth digambarkan berkata sinis, menyebut Luth dan pengikutnya sebagai orang-orang yang “sok menyucikan diri”.
Baca juga: Kisah Nabi Yusuf, Ketika Iman Mengalahkan Nafsu dan Kekuasaan
Kaum Nabi Luth dikenal sebagai masyarakat yang menormalisasi kemaksiatan dan menjadikannya identitas kolektif.
Ketika Nabi Luth mengingatkan, ia tidak hanya ditolak, tetapi juga diposisikan sebagai ancaman terhadap kebebasan sosial mereka.
Dikutip dari buku Kisah Para Nabi karya Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa penolakan kaum Luth bukan bersifat individual, melainkan sistemik.
Tidak ada elite sosial atau tokoh masyarakat yang berdiri di pihak kebenaran. Kondisi inilah yang membuat dakwah Nabi Luth terasa sunyi dan berat.
Kesabaran Nabi Luth diuji bukan hanya oleh kaumnya, tetapi juga oleh keluarganya sendiri. Istrinya disebut dalam Al-Qur’an sebagai bagian dari orang-orang yang membangkang. Ia mengetahui kebenaran, tetapi memilih berpihak pada kaumnya.
Baca juga: Kisah Nabi Syu’aib dan Bangsa Madyan, Ketika Kecurangan Menjadi Budaya
Puncak ujian Nabi Luth datang ketika Allah mengutus tiga malaikat, Jibril, Mikail, dan Israfil dalam rupa manusia.
Mereka lebih dahulu singgah ke rumah Nabi Ibrahim AS, membawa kabar gembira sekaligus peringatan. Dari sana, mereka melanjutkan perjalanan ke negeri kaum Luth.
Ketika para malaikat tiba di rumah Nabi Luth, ia diliputi kecemasan. Ia khawatir kaumnya akan berbuat keji terhadap tamu-tamu itu, sebagaimana kebiasaan mereka.
Kekhawatiran itu terbukti. Kabar kedatangan tamu asing segera menyebar dan orang-orang berdatangan dengan niat buruk.
Dalam Surah Hud ayat 78, Nabi Luth tampak berada di titik paling getir. Ia berusaha melindungi tamunya dan menyeru kaumnya untuk kembali kepada akal sehat.
Namun, seruan itu kembali diabaikan. Pada saat itulah para malaikat menyingkap jati diri mereka dan menenangkan Nabi Luth. Mereka memastikan bahwa kaumnya tidak akan mampu menyentuh para utusan Allah.
Para malaikat memerintahkan Nabi Luth untuk meninggalkan negeri itu pada malam hari bersama pengikutnya.
Ia diminta untuk tidak menoleh ke belakang. Istrinya yang memilih tetap bersama kaum yang durhaka, tidak termasuk dalam rombongan yang diselamatkan.
Ketika fajar menyingsing, azab Allah pun datang. Dalam berbagai ayat Al-Qur’an disebutkan bahwa negeri itu dibalikkan, lalu dihujani batu dari tanah yang terbakar.
Tafsir al-Tabari menjelaskan bahwa azab ini bukan sekadar kehancuran fisik, melainkan simbol kehancuran moral yang telah mencapai puncaknya.
Azab itu datang bukan secara tiba-tiba. Ia didahului oleh peringatan panjang, dialog, dan kesempatan bertobat.
Namun, ketika kebenaran terus ditolak dan kezaliman dijadikan norma, maka kehancuran menjadi keniscayaan.
Baca juga: Kisah Nabi Sulaiman AS: Pemimpin Bijak dengan Karunia Besar
Kisah Nabi Luth bukan semata kisah hukuman, melainkan cermin tentang masyarakat yang menolak koreksi moral.
Al-Qur’an tidak mengabadikan kisah ini untuk menumbuhkan ketakutan semata, tetapi untuk menegaskan bahwa kebebasan tanpa tanggung jawab akan berujung pada kehancuran.
Nabi Luth mengajarkan bahwa tugas seorang nabi adalah menyampaikan kebenaran dengan sabar, meski hasilnya tidak selalu sesuai harapan.
Sementara kaum Luth menjadi contoh bahwa ketika penyimpangan dilindungi oleh mayoritas, kebenaran sering kali terdengar asing.
Di tengah dunia modern yang terus bergulat dengan batas antara kebebasan dan nilai, kisah Nabi Luth tetap relevan.
Ia mengingatkan bahwa kemajuan tanpa etika bukanlah kemajuan, melainkan jalan sunyi menuju kehancuran.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang