KOMPAS.com-Perceraian merupakan jalan terakhir ketika rumah tangga tidak dapat dipertahankan lagi.
Dalam hukum Indonesia, istri memiliki hak untuk mengajukan gugatan cerai terhadap suami melalui pengadilan agama, dengan syarat dan alasan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Istri Boleh Gugat Cerai Suami yang Kecanduan Judi Online, Ini Penjelasan Hukum Islam dan KHI
Aturan mengenai perkawinan dan perceraian diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
Pelaksanaan teknisnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, sementara kewenangan pengadilan agama dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama beserta perubahannya.
Dalam kasus gugat cerai, istri berkedudukan sebagai penggugat, sedangkan suami menjadi tergugat.
Proses perceraian harus diajukan di pengadilan agama tempat tinggal penggugat (istri).
Baca juga: Perbedaan Talak 1, 2, dan 3 dalam Islam: Hak Rujuk dan Konsekuensinya bagi Suami Istri
Istri tidak dapat mengajukan gugatan cerai tanpa alasan yang sah secara hukum.
Menurut Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, perceraian hanya dapat dilakukan apabila terdapat alasan yang cukup, yaitu:
→ Alasan ini berlaku jika perilaku suami telah merusak keharmonisan rumah tangga dan bertentangan dengan ajaran agama.
→ Dikenal sebagai “ghoib” dalam hukum Islam, yakni ketika suami meninggalkan istri tanpa nafkah lahir maupun batin.
→ Termasuk kategori kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) secara fisik, psikis, atau ekonomi.
→ Alasan ini merupakan yang paling umum digunakan istri untuk menggugat cerai suami.
Ketentuan serupa juga ditegaskan dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan alasan-alasan sah bagi perceraian.
Baca juga: Hukum Talak Saat Marah dalam Islam, Sah atau Tidak?
Sebelum mengajukan gugatan cerai, istri wajib menyiapkan sejumlah dokumen administratif berikut:
Pada sidang pertama, hakim akan berusaha mendamaikan kedua belah pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Agama.
Kehadiran suami dan istri secara pribadi diwajibkan, kecuali salah satu pihak berdomisili di luar negeri dan telah memberikan kuasa khusus kepada pengacaranya.
Jika perdamaian gagal, proses sidang akan dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara, pembuktian, dan putusan akhir.
Baca juga: Talak Bain dalam Islam, Apakah Masih Bisa Rujuk dengan Mantan Suami?
Tidak semua gugatan cerai berjalan lancar.
Ada kalanya suami menolak hadir di sidang atau tidak menyetujui perceraian.
Berdasarkan Pasal 142 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, suami dan istri dapat datang sendiri atau diwakilkan kepada kuasanya.
Namun, jika suami tidak hadir dan tidak mengirimkan kuasa hukumnya, maka hakim dapat menjatuhkan putusan verstek sesuai Pasal 125 HIR (Herziene Indonesisch Reglement).
Putusan verstek adalah putusan pengadilan yang dijatuhkan apabila tergugat tidak hadir meskipun telah dipanggil secara sah.
Apabila suami keberatan atas putusan tersebut, ia dapat mengajukan verzet (perlawanan).
Jika tidak mengajukan verzet, putusan tersebut berkekuatan hukum tetap dan akta cerai dapat diterbitkan.
Meskipun hukum memperbolehkan istri menggugat cerai suami, hakim tetap berkewajiban untuk mengupayakan perdamaian hingga sebelum sidang diputus.
Langkah ini dilakukan untuk memastikan bahwa perceraian benar-benar menjadi jalan terakhir, bukan keputusan emosional.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang