KOMPAS.com - Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Rahmat Hidayat Pulungan meminta maaf kepada masyarakat atas kegaduhan internal yang terjadi di tubuh PBNU dalam dua pekan terakhir.
Ia menyebut polemik yang berkembang sebagai bagian dari proses pendewasaan organisasi, namun mengakui persoalan konsesi tambang menjadi titik paling sensitif.
“Pertama, saya menyampaikan permohonan maaf atas kebisingan yang terjadi di internal kami. Mudah-mudahan ini menjadi pendewasaan Nahdlatul Ulama,” kata Rahmat dalam podcast Gaspol Kompas.com yang dipandu Tatang Guritno dan tayang pada Rabu (3/12/2025).
Baca juga: Wasekjen PBNU Tegaskan Aliran Dana ke CSCV Sah dan Berdasar MoU
Rahmat menggambarkan pertikaian yang muncul seperti “urusan satu gelas dua gelas yang membuat dapur berantakan”, menegaskan bahwa persoalan tambang mestinya bisa dikelola lebih bijak oleh generasi muda NU.
Menanggapi pertanyaan soal penyesalan NU menerima konsesi tambang era pemerintahan Presiden Joko Widodo, Rahmat menjelaskan bahwa niat pemerintah ketika itu adalah mendorong kemandirian ormas Islam.
Namun ia mengakui instrumen yang diberikan — tambang — tidak sepenuhnya selaras dengan karakter NU.
“Secara historis pemerintah ingin ormas Islam mandiri dan tidak bergantung. Tapi instrumennya cuma satu: tambang. Padahal banyak cara lain yang lebih relevan dengan NU,” ujarnya.
Rahmat juga menyebut keputusan menerima konsesi tambang diambil secara terbatas tanpa melibatkan seluruh pemangku kepentingan NU, termasuk pesantren-pesantren tua yang menjadi akar organisasi.
“Keputusan itu diambil sangat cepat, kehati-hatiannya terpinggirkan. Sekarang ketika ribut, baru semuanya diajak rapat,” katanya.
Rahmat menegaskan perdebatan tambang di internal PBNU berada pada dua ranah:
1. Kamar pertama: etik dan strategi.
Apakah tambang etis bagi NU? Apakah masih strategis di tengah tren energi hijau dan industri batu bara yang terus menurun?
2. Kamar kedua: operasional dan tata kelola.
Mulai dari siapa operator tambang, keterbukaan investor, reklamasi, hingga pengelolaan dana abadi dari profit tambang.
“Kalau audit tambang itu sebenarnya mudah. Yang sulit adalah good governance-nya: transparansi, siapa operasional, bagaimana pascatambang, sampai bagaimana profit dikelola,” ujarnya.
Rahmat menegaskan persoalan tata kelola yang tidak rapi membuat semua pihak merasa dirugikan.
Rahmat juga menanggapi kritik publik bahwa NU justru menerima konsesi tambang saat bencana ekologis banyak terjadi, termasuk di Sumatera.
Menurut dia, hal itu memang menjadi pertanyaan besar.
“Itu juga jadi banyak pertanyaan, baik di pengurus hari ini maupun stakeholder NU. Makanya saya bilang, dirapikan dulu etiknya, strateginya, baru bicara teknis,” katanya.
Rahmat bahkan menyarankan opsi mengembalikan konsesi tambang ke negara dan meminta konsesi lain yang lebih relevan, seperti perkebunan, energi bersih, atau program Kampung Haji.
“Pemerintah saat ini jauh lebih terbuka. Kalau dikembalikan pun tidak masalah, banyak konsesi lain yang lebih inline dengan agenda NU,” ujarnya.
Terkait saling klaim pemecatan antara Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dan Wakil Ketua Umum KH Saifullah Yusuf, Rahmat mengakui kondisi ini membingungkan publik, tetapi menegaskan konflik ini murni masalah internal tanpa intervensi pemerintah.
“Ini rumah tangga kita sendiri. Karena itu harus melibatkan banyak stakeholder, termasuk pesantren-pesantren tua,” tegasnya.
Ia menilai islah belum sepenuhnya terjadi karena dua kubu masih keras dalam posisi masing-masing.
Menurutnya, muktamar luar biasa bukan solusi substantif jika akar persoalan — tata kelola dan sikap organisasi terhadap tambang — belum diselesaikan.
Menanggapi tudingan kubu Rais Aam terkait narasumber yang disebut terafiliasi kelompok pro-Israel serta dugaan TPPU dalam audit 2022, Rahmat menyebut isu itu harus dilihat secara jernih dan proporsional.
Menurutnya, publik global hari ini sangat sensitif terhadap isu Palestina sehingga undangan narasumber yang kontroversial harus menjadi koreksi penting.
“Orang di seluruh dunia berpihak pada Palestina. Ini kritik yang harus kita jadikan pembelajaran,” ujarnya.
Ia menyatakan persoalan tata kelola harus disikapi dengan mekanisme organisasi, bukan digoreng menjadi bahan saling menjatuhkan.
Rahmat menegaskan penyelesaian konflik harus kembali pada pesantren-pesantren tua sebagai akar NU yang selama ini belum dilibatkan optimal dalam proses pengambilan keputusan.
“Pesantren-pesantren tua itu akarnya NU. Mereka harus dilibatkan, bukan hanya hari ini tetapi ke depan. Itu bisa menjadi kontrol moral,” ujarnya.
Baca juga: Kesekretariatan PBNU Bantah Sabotase Digital atas Surat Edaran Syuriyah
Ia berharap PBNU kembali pada prinsip tata kelola yang baik dan sikap yang bijak agar organisasi tidak terpecah.
“NU ini besar. Kalau ada apa-apa dampaknya ke mana-mana. Karena itu semua pihak harus menurunkan ego dan mencari jalan tengah,” kata Rahmat.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang