KOMPAS.com - Hijrah ke Madinah merupakan sebuah titik balik perkembangan Islam. Saat dakwah Islam hanya terbatas di Mekkah, Islam sulit berkembang karena penolakan dan hambatan dari penduduk Mekkah.
Ketika Islam sampai Madinah, agama yang baru seumur jagung dibandingkan keyakinan-keyakinan yang ada saat itu bisa berkembang dengan pesat. Bahkan seorang Mush'ab bin Umair yang berdakwah sendiri mampu mengislamkan ratusan penduduk Madinah.
Maka hijrah adalah sebuah jalan terbaik untuk bisa mengamalkan dan menyebarkan agama Islam secara lebih bebas dan luas.
Baca juga: Kisah Hijrah Pertama Kaum Muslimin ke Habasyah
Hijrah di Madinah dimulai pada tahun ke-13 Kenabian. Peristiwa Baiat Aqabah menjadi jalan bagi terbukanya hijrah ke Madinah. Saat itu umat Islam Madinah yang disebut Kaum Anshar sudah siap menerima kaum Muslimin Mekkah atau yang disebut Kaum Muhajirin.
Orang yang pertama hijrah ke Madinah adalah Abu Salamah, kemudian diikuti oleh Amir bin Rabi’ah dan istrinya serta Abdullah bin Jahsy beserta keluarganya.
Gelombang hijrah kaum Muslimin pun kemudian terjadi secara terus menerus selama kurang lebih dua bulan. Sampai akhirnya hampir semua kaum Muslimin Mekkah sudah berpindah ke Madinah dan hanya menyisakan beberapa orang saja yang masih ditahan.
Termasuk gelombang terakhir hijrah adalah Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar Ash Shiddiq, dan Ali bin Abi Thalib.
Baca juga: Kisah Baiat Aqabah Pertama dan Kedua: Janji Kesetiaan Penduduk Madinah
Melihat kaum Muslimin hijrah ke Madinah, kaum Musyrikin Mekkah tidak tinggal diam. Mereka mencoba menghalang-halangi hijrah tersebut dengan segala upaya. Salah satunya dilakukan oleh Abu Jahal terhadap Ayasy bin Abu Rabi’ah.
Ketika Ayasy tiba di Yatsrib Bersama Umar bin Khattab dan Hisyam bin Ash, Abu Jahal dan Hisyam bin Harits menyusul kesana. Keduanya segera menemui Ayasy dan mengabarkan kalau ibu Ayasy bersumpah tidak mau menyisir rambutnya dan akan terus berjemur di terik matahari kalau Ayasy tidak pulang.
Informasi tersebut membuat Ayasy menjadi sedih dan memutuskan pulang ke Mekkah untuk menghentikan apa yang dilakukan sang ibu. Umar bin Khattab menasehati Ayasy agar bertahan karena curiga informasi tersebut hanya untuk menjebak Ayasy agar mau pulang.
Sayangnya, Ayasy tidak mendengarkan nasehat tersebut. Ia tetap bersikukuh pulang ke Mekkah Bersama Abu Jahal dan Hisyam bin Harits.
Di tengah perjalanan, Abu Jahal benar-benar melaksanakan niat jahatnya. Ayasy akhirnya diikat dan dibawa ke Mekkah. Ia mendapatkan siksaan dan cemoohan dari penduduk kafir Quraisy, termasuk keluarganya.
Baca juga: Alasan Penduduk Madinah Menerima Islam dengan Tangan Terbuka
Kaum Muslimin Mekkah umumnya berhijrah secara sembunyi-sembunyi agar tidak dicegah oleh Kaum Musyrikin Mekkah. Namun Umar bin Khattab berbeda dari para sahabat lainnya.
Sebelum berangkat hijrah, Umar bin Khattab dengan persenjataan lengkap mendatangi Ka'bah dan melakukan thawaf sebanyak tujuh tujuh kali serta sholat di Maqam Ibrahim.
Begitu selesai, Umar bin Khattab mendatangi orang-orang yang sedang berkerumun saat itu sambil mengatakan, "Aku akan berhijrah ke Madinah melaksanakan perintah Rasulullah. Barang siapa yang ingin diratapi ibunya, ingin anaknya menjadi yatim, atau istrinya menjadi janda, hendaklah ia menemuiku di balik lembah ini.”
Tak ada satupun dari kaum Musyirikin Mekkah yang berani menemui dan menghalangi hijrah Umar bin Khattab.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini